Saturday 18 September 2010

RHINOLITHIASIS

ANATOMI HIDUNG 
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung(bridge),batang hidung(dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).
Manakala hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan kulit dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka terdiri dari tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla, processus nasalis os frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung iaitu sepasang kartilago nasalis latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung/cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan,oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepatnya dibelakang nares anterior pula disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding iaitu dinding medial,lateral,inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang rawan dan tulang,dimana bagian tulangnya adalah lamina perfendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os palatina sedangkan bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulangnya sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Dibagian depan septum nasi terdapat daerah yang disebut little atau pleksus kleselbach yang merupakan tempat pertemuan pembuluh darah di hidung.

Dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan yang lebih kecil lagi ialah konka superior,sedangkan yang terkecil adalah konka suprema (biasanya rudimenter). Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla dan labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema adalah bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus ada tiga meatus yaitu inferior,media,dan superior.Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada mestus inferior terdapat muara(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,sinus maxilla,sinus etmois posterior.Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka medis terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang seperti saringan, tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior atap rongga hidung terbentuk oleh os sfenoid. Semua bangunan ini membentuk batas rongga hidung.

KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasioleh konka media dan lamina papirasea. Strukstur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosessus unsinatus, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unti fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior iaitu sinus maksila, ethmoid anterior dan frontal.
Jika terjadi sumbatan pada celah yang sempit ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
PERDARAHAN HIDUNG

Bagian atas rongga hidung berasal dari a.ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah hujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang hujung posterior konka media. Manakala bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus ini terletak superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mempunyai katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.


PERSARAFAN HIDUNG [1]
Bagian depan dan atas ringga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang erasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas hujung posterior konka media.
Untuk fungsi penghidu pula berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
FISIOLOGI HIDUNG [1]
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2. Fungsi penghidu kerana terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum berfungsi sebagai indera penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.
4. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
5. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
RINOLITIASIS
DEFINISI [2,3,4]
Rhinolithiasis adalah batu di dalam rongga hidung yang terbentuk hasil dari pengendapan senyawa organik dan anorganik dalam rongga hidung, yang menyebabkan sumbatan hidung unilateral, rhinorrhea, foetor, epistaksis, dan dapat menimbulkan komplikasi.Laporan mengenai rhinolithiasis diterbitkan pertama kali pada tahun 1654 di mana Bartholini menggambarkan sebuah benda asing batu - keras yang tumbuh di sekeliling batu ceri. Istilah rhinolithiasis ini pertama kali diciptakan pada tahun 1845 untuk menggambarkan sebagian atau seluruhnya pengapuran benda asing di dalam hidung.
Analisis kimia pertama kali dilakukan oleh Axmann pada tahun 1829 yang berhasil mendeteksi komposisi batu ini umumnya terdiri dari 90% bahan anorganik seperti garam mineral, kalsium, fosfat, magnesium karbonat, besi, aluminium dengan sisa 10% yang terbuat dari bahan organik hasil lesi dari lendir hidung misalnya asam glutamate dan glycin. Penulis ini juga menduga bahwa zat besi eksogen mungkin menjadi penyebab pembentukan nidus karena sekresi fisiologis ( lendir hidung , air mata ) yang diproduksi di hidung tidak mengandung jumlah besi yang mencukupi untuk membentuk nidus rhinolith.


EPIDEMIOLOGI [2,4]
Durasi riwayat penyakit bisa berkisar dari bulan ke dekade dan menurut epidemiologi wanita tampaknya lebih sering terkena daripada laki-laki. Meskipun sebagian besar rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda namun dapat juga ditemukan pada sebarang usia (6 bulan hingga 86 tahun ).

Menurut Denker dan Brünings , kejadian paling umum diamati terjadi pada anak-anak dan pasien dengan retardasi mental di mana mereka suka memasukkan benda-benda kecil seperti manik, batu kecil, koin, dan alat-alat mainan ke dalam lubang hidung .

KLASIFIKASI [2]
Sebelum ini rhinolithiasis di bagi berdasarkan true-rhinolith dan pseudo-rhinolith. Namun dewasa ini, istilah-istilah ini telah digantikan dengan eksogen dan endogen rhinolithiasis, tergantung apakah dapat ditemukan nucleus yang terdeposit di dalamnya. Rhinolith yang berkembang di dalam rongga hidung yang berasal dari batu cherry, batu kecil, pembersih hidung yang tertinggal atau benda-benda yang semacam ini disebut rhinolithiasis eksogen. Rhinolithiasis endogen adalah rhinolith dengan nucleus yang berasal dari materi tubuh sendiri misalnya gigi ektopik di sinus maksilaris, sekuester tulang, bekuan darah kering di rongga hidung dan juga bekuan lendir. Sekitar 20 % dari rhinolithiasis adalah endogen.


PATOGENESIS [2]

Patogenesis rhinolithiasis masih belum sepenuhnya diketahui dengan jelas. Terdapat empat kondisi yang memicu pembentukan rhinolithiasis yang dapat diakui dan diterima umum:

1. Benda asing masuk ke dalam hidung dan menimbulkan radang akut atau kronik dari mukosa hidung diikuti dengan pembentukan pus .
2. Benda asing yang membusuk di dalam rongga hidung memiliki kandungan tinggi kalsium dan / atau magnesium .
3. Ada obstruksi mekanikal yang memblokir pus dan lendir keluar dari rongga hidung.
4. Ada pajanan arus udara supaya pus dan secret bisa terkonsentrasi dan garam mineral dapat mengendap dan dengan demikian akan membentuk selubung pengkapuran.
 Waktu merupakan faktor utama dalam pembentukan sebuah rhinolith. Seorang penulis menggambarkan kasus seorang wanita yang telah dilakukan irigasi pada sinus maksila pada usia sepuluh tahun di mana kapas penyerap yang di masukkan ke dalam hidung pada waktu itu tertinggal dan langsung terlupakan. Setelah 27 tahun kemudian , ia datang ke sebuah klinik THT dengan keluhan gangguan pernapasan hidung . Setelah dilakukan inspeksi pada hidung, dia diberitahu bahwa napas-nya normal dan operasi eksplorasi tidak dilakukan. Justeru bau busuk terhasil dari hidungnya menyebabkan pasien itu secara sosial terisolasi dan tidak pernah menikah. Pada usia 71 tahun, pasien itu berkonsultasi dengan seorang spesialis THT untuk masalah pendengarannya dan secara kebetulan akhirnya rhinolith itu berhasil ditemukan. Batu itu berada di rongga hidung wanita tersebut selama 61 tahun.


DIAGNOSIS [2,4,5]
Dengan semakin bertambahnya ukuran rhinolithiasis, manifestasi gejala yang muncul bersifat progresif dan beragam mulai dari rhinorea unilateral (purulen dan berbau) , rhinitis supuratif unilateral dengan atau tanpa disertai sinusitis , sakit pada wajah, sakit kepala , epistaksis, gangguan pernapasan pada hidung yang berakhir dengan obstruksi total, dakriosistitis, otorrhea, foetor, kurang indra penciuman, perforasi palatum dan perforasi septum. 

Diagnosis di tegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan nasal rutin. Foto rontgen dan endoskopi juga dapat memberikan informasi tambahan dalam menegakkan diagnosa rhinolithiasis. CT-scan terkomputerisasi bisa digunakan untuk menggambarkan ukuran dan lokasi rhinoliths dengan akurat.

Menurut Bader dan Hiliopoulo (1974), dengan semua kasus yang pernah terjadi meskipun ada gejala khas yang timbul , diagnosis rhinolith tidak selalu mudah untuk ditegakkan seperti yang telah dicatatkan oleh Seifer pada tahun 1921. Dia menggarisbawahi bahwa perlunya pemeriksaan endoskopi pada rongga hidung pada kasus curiga rhinolithiasis. Selain itu pemeriksaan rontgen juga bisa digunakan untuk menguatkan dasar diagnosis dan untuk mengevaluasi efek destrukstif dari batu tersebut di dalam rongga nasal.
Dalam sebagian besar kasus , rhinolith dijumpai terletak di meatus nasal inferior. Ada referensi yang pernah melaporkan kasus langka yang pernah terjadi seperti ditemukan benda asing hidup iaitu lintah di dalam rongga hidung. Ada juga referensi yang melaporkan kasus rhinolithiasis yang hanya berhasil terdeteksi setelah terjadinya komplikasi parah seperti perforasi dan destruksi os palatum, perluasan batu ke sinus maksilaris, tetanus wajah dan perforasi septum.

DIAGNOSIS BANDING [2]
Untuk diagnosis diferensial, semua lesi yang mampu memblokir rongga hidung dan muncul sebagai massa hasil dari pengapuran pada foto rontgen harus dipertimbangkan, misalnya calcified angiofibroma, chondrosarcoma, chondroma, osteosarcoma, dan calcified polip.

PENATALAKSANAAN
[2,3,4,5]
Terapinya adalah dengan cara dilakukan pengangkatan batu keluar dari lokasinya. Batu yang masih berukuran kecil dan memungkinkan untuk di angkat tanpa operasi dapat dikeluarkan langsung endonasal dengan menggunakan alat pengait benda asing. Jika ukuran batu besar harus dihancurkan dan fragmen akan diangkat keluar. Namun jika ukuran batu sangat besar, mungkin diperlukan pembedahan radikal seperti kasus yang dilaporkan oleh Abu Jaudeh (1951) dan Myerson (1928). Dewasa ini pengangkatan batu juga bisa dilakukan dengan menggunakan alat endoskopik nasal rigid dengan bantuan anastesi topikal.

KESIMPULAN
Meskipun rhinolithiasis merupakan kasus langka, dokter THT harus menyadari keberadaan mereka.Rhinolithiasis adalah penyakit langka yang dapat tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun dan baru diketahui setelah timbul komplikasi. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam kasus curiga rhinolithiasis dengan keluhan obstruksi hidung unilateral. Terapi adalah dengan pengangkatan batu keluar dari lokasinya dan mengobati komplikasi yang terjadi.


Daftar pustaka

1. Soepandi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. 6th ed. FKUI. Jakarta: 2007. Halaman 118-122.
2. Brehmer D, Riemann R. The Rhinolith—A Possible Differential Diagnosis of a Unilateral Nasal Obstruction [full text].PubMed website. Vol: 2010: 845671.2010 June 17 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2892702/
3. Yuca K, Caksen H, Etlik O, Bayram I, Sakin YF, Dülger H, Kiriş M. The importance of rigid nasal endoscopy in the diagnosis and treatment of rhinolithiasis [abstract]. PubMed website. Vol: 33(1):19-22. 2005 Jul 18 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16029942
4. P. T. Marfatia. Rhinolith. A brief review of the literature and a case report [article]. PubMed website. Postgrad Med J. 1968 June; 44(512): 478–479. [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2466618/?page=1
5. Aziz Y, Chauder J, Hasan S.A, Hafsmi SF. Staghorn Rhinolith in Naspharynx: an Unusual Case. [full text]. Springer website. Indian J Otolaryngology. Vol: 60:91-93. [cited 2010 Aug 16]. Available: http://resources.metapress.com/pdfpreview.axd?code=kv18p8g858144611&size=largest 
6. Cesar G,Tangerina RP ,E.C.Abreu, Santos R,Gregório LC. Rhinolithiasis as cause of oronasal fistula. Rev. Bras. Otorrinolaringol. vol.71 no.1 São Paulo Jan./Feb. 2005 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0034-72992005000100019&script=sci_arttext&tlng=en
7. Ghorayeb BY. Nasal calculus [article]. Otolaryngology houston website. 2010 Aug 9 [cited 2010 Aug 29]. Available: http://www.ghorayeb.net/Rhinolith.html









No comments: