Showing posts with label ENT. Show all posts
Showing posts with label ENT. Show all posts

Saturday, 18 September 2010

PARESE NERVUS FASIALIS PERIFER


I.PENDAHULUAN

Parese nervus fasialis perifer merupakan kelemahan jenis lower motor neuron yang terjadi bila nukleus atau serabut distal nervus fasialis terganggu, yang menyebabkan kelemahan otot wajah.1 Parese nervus facialis biasanya mengarah pada suatu lesi nervus fasialis ipsilateral atau dapat pula disebabkan lesi nukleus fasialis ipsilateral pada pons.2

II.ANATOMI DAN FISIOLOGI

Nervus Fasialis mengandungi empat macam serabut :1
1. Serabut somatomotorik, yang memepersarafi otot-otot wajah (kecuali muskulus levator palpebrae (N.III), otot platisma, stilohioid, digastricus bagian posterior dan stapedius di telinga tengah.
2. Serabut viseromotorik (parasimpatis) yang datang dari nukleus salivatorius superior. Serabut saraf ini mengurus glandula dan mukosa faring, palatum, rongga hidung, sinus paranasal dan glandula submaksiler serata sublingual dan maksilaris.
3. Serabut viserosensorik yang menghantar implus dari alat pengecap di dua pertiga bagian depan lidah.
4. Serabut somatosensorik rasa nyeri dan mungkin juga rasa suhu dan rabadari bagian daerah kulit dan mukosa yang dipersarafi nervus trigeminus. Daerah overlapping disarafi oleh dari satu saraf ini terdapat pada lidah, platum, meatus acusticus eksterna dan bagian luar dari gendang telinga.
Nervus facialis terutama merupakan saraf motorik, yang menginervasi otot-otot ekspresi wajah. Disamping saraf ini membawa serabut parasimpatis ke kelenjar ludah dan air mata dan ke selaput mukosa rongga hidung dan mulut dan juga menghantar berbagai jenis sensasi termasuk sensasi eksteroseptif dari daerah gendang telinga sensasi pengecapan dari 2/3 bagian depan lidah, sensasi viseral umum dari kelenjar ludah, mukosa hidung dan faring dan sensasi proprioseptif dari otot-otot yang disarafinya.1
Inti motorik nervus fasialis terletak dipons. Serabut mengintari inti nervus abdusen, dan kelenjar di bagian lateral pons. Nervus intermedius keluar di permukaan lateral pons diantara nervus fasialis dan nervus vestibukoklearis. Nervus fasialis bersama dengan nervus intermedius dan nervus vestibulokoklearis kemudian memasuki meatus akusticus internus. Di sini nervus facialis bersatu dengan nervus intermedius dan menjadi satu berkas yang berjalan di dalam kanalis facialis dan kemudian masuk ke dalam os mastoid. Ia keluar dari tulang tengkorak melalui foramen stilomastoideum , dan bercabang untuk mempersarafi otot-otot wajah.1

III. ETIOPATOGENESIS
Parese nervus fasialis timbul karena berbagai etiologi dengan proses patogenesis yang bervariasi, yaitu :

1.Trauma
Parese nervus fasialis bisa terjadi karena trauma kepala, terutama jika terjadi fraktur basis cranii, khususnya bila terjadi fraktur longitudinal. Selain itu luka tusuk, luka tembak serta penekanan forsep saat lahir juga bisa menjadi penyebab. Nervus fasialis pun dapat cedera pada operasi mastoid, operasi neuroma akusik atau neuralgia trigeminal dan operasi kelenjar parotis.3

2.Tumor
Tumor yang bermetastasis ke tulang temporal merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Biasanya berasal dari tumor payudara, paru-paru, dan prostat. Juga dilaporkan bahwa penyebaran langsung dari tumor regional dan sel schwann, kista dan tumor ganas maupun jinak dari kelenjar parotis bisa menginvasi cabang akhir dari nervus fasialis yang berdampak sebagai bermacam-macam tingkat kelumpuhan. Pada kasus yang sangat jarang, karena pelebaran aneurisma arteri karotis dapat mengganggu fungsi motorik nervus fasialis secara ipsilateral.4

3. Paralisis nervus fasialis perifer telah dijelaskan dalam banyak kasus embriopati talidomid..Larutan antiseptic kloroseksol yang banyak digunakan dalam pasta elektroda dan berbagai krim kulit, telah dilaporkan bahwa dapat menyebabkan paralisis fasialis yang tiba-tiba.Ingesti etilenglikol, baik dalam percobaan bunuh diri maupun mabuk, dapat mengakibatkan kelemahan fasial tipe perifer, baik permanen ataupun temporer.4

4. Kongenital
Parese nervus fasialis bilateral kadang merupakan kelainan congenital yang kemungkinan terjadi karena adanya gangguan perkembangan nervus fasialis dan seringkali bersamaan dengan kelemahan okular (sindrom Moibeus).5

 5.Bell’s Palsy

Parese Bell merupakan lesi nervus fasialis yang tidak diketahui penyebabnya atau tidak menyertai penyakit lain. Karena proses yang dikenal awam sebagai masuk angin atau dalam bahasa inggris “cold” nerfus facialis bisa sembab. Karena terjepit di dalam foramen stilomastoideus dan menimbulkan kelumpuhan tipe LMN yang disebut sebagai Bell’s Palsy.6

6.Penyakti-penyakit tertentu
Parese fasialis perifer dapat terjadi pada penyakit-penyakit tertentu, misalnya DM, hepertensi berat, anestesi local pada pencabutan gigi, infeksi telinga tengah, sindrom Guillian Barre.6

IV.GEJALA DAN TANDA KLINIK

Gejala dan tanda klinik yang berhubungan dengan lokasi lesi :
1. Lesi di luar foramen stilomastoideus
Mulut tertarik kearah sisi mulut yang sehat, makan terkumpul di antara pipi dan gusi. Lipatan kulit dahi menghilang. Apabila mata yang terkena tidak ditutup atau tidak dilindungi maka air mata akan keluar terus menerus.
2. Lesi di kanalis fasialis (melibatkan korda timpani)
Gejala dan tanda klinik seperti pada (1), ditambah dengan hilangnya ketajaman pengecapan lidah (2/3 bagian depan) dan salivasi di sisi yang terkena berkurang. Hilangnya daya pengecapan pada lidah menunjukkan terlibatnya nervus intermedius, sekaligus menunjukkan lesi di antara pons dan titik dimana korda timpani bergabung dengan nervus fasialis di kanalis fasialis.
3.Lesi di kanalis fasialis lebih tinggi lagi (melibatkan muskulus stapedius)
Gejala dan tanda klinik seperti (1) dan (2) di tambah dengan hiperakusis
4.Lesi ditempat yang lebih tinggi lagi (melibatkan ganglion genikulatum)
Gejala dan tanda kilinik seperti pada (1),(2),(3) disertai dengan nyeri di belakang dan didalam liang telinga . Kasus seperti ini dapat terjadi pascaherpes di membrana timpani dan konka. Sindrom Ramsay-Hunt adalah parese fasialis perifer yang berhubungan dengan herpes zoster di ganglion genikulatum. Lesi herpertik terlihat di membrana timpani, kanalis auditorius eksterna dan pinna.
5.Lesi di meatus akustikus internus
Gejala dan tanda klinik seperti diatas ditambah dengan tuli akibat terlibatnya nervus akustikus
6.Lesi ditempat keluarnya nervus fasialis dari pons.
Gejala dan tanda klinik sama dengan diatas, disertai gejala dan tanda terlibatnya nervus trigeminus, nervus akustikus dan kadang – kadang juga nervus abdusen, nervus aksesorius dan nervus hipoglossus.

V.DIAGNOSA BANDING
Lesi kortikal pada lesi ini dapat ditemukan keterlibatan tanda kortikal dan tanpa adanya gangguan pada otot dahi dan kelopak mata atas ini disebut sebagai lesi supranuklear. Dan lagi, kelemahan pada lesi perifer adalah sama dalam setiap jenis pergerakan, sementara pada lesi supranuklear dapat timbul perbedaan antara pergerakan volunter dan ekspresi emosional. Pergerakan volunter dapat lebih meningkat ataupun menurun dibandingkan pada saat pasien tersenyum atau tertawa.

Myasthenia Gravis, adalah satu cara untuk membedakannya dengan parese fasialis adalah bahwa myasthenia gravis memberikan respon terhadap injeksi tensilon atau neostigmin.

VI.PENATA LAKSANAAN
1. Proteksi mata sebelum tidur

2. Masase otot yang lumpuh. Pasien hendaknya melakukan masase otot wajah selama 5 menit dua kali sehari. Masase ini dimulai dari dagu dan bibir dan diarahkan ke atas

3. Sebuah bidai untuk mencegah kendurnya otot wajah bagian bawah yang dipakai secara umum dalam penanganan beberapa kasus. Sebuah metode sederhana yakni dengan membidai otot yang lumpuh dengan cara menggunakan plaster adhesive yang direkatkan pada dahi yang dibelah pada bagian bawahnya sehingga berbentuk seperti huruf “Y“ terbalik kemudian direkatkan pada bibir atas dan bawah seperti sedemikian rupa sehingga keduanya terangkat.

4. Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanik berenergi lemah dianggap cukup bermanfaat.

5. Pemberian prednison (40-60 mg/hari) selama seminggu pertama hingga 10 hari setelah onset cukup menguntungkan, dan hal tersebut dapat menurunkan kemungkinan terjadinya paralisis yang permanen akibat adanya pembengkakan dari nervus dalam kanalis fasialis yang sempit.

6. Prosedur operasi biasanya cukup bermanfaat ketika penyembuhan spontan tidak terjadi. Neurolisis atau sambungan end to end dapat diindikasikan untuk lesi di eksrakranial atau pada cabang nervus fasialis. Ketika kerusakan saaf berada diatas foramen stilomastodeus, maka cara tersebut tidak efektif lagi dan perbaikan persarafan otot wajah hanya dapat dicapai dengan menyambungkan bagian distalnya nervus fasialis dengan bagian pusat dari salah satu saraf kranialis liannya, misalnya dengan saraf XII.

7. Tidak ada bukti yang nyata bahwa operasi dekompresi saraf fasialis cukup efektif dan bahkan hal tersebut bisa membahayakan.

8. Ketika fungsi motorik pulih kembali, pasien hendaknya latihan mengerakkan berbagai otot wajahnya ketika sedang bercermin.6

VII.PROGNOSIS
Jika dengan stimulasi listrik teridentifikasi adanya aktivitas dari motorik unit dan jika dalam beberapa hari nervus fasialis sama sekali tidak dapat terstimulasi maka prognosisnya kurang baik. Dilaporkan bahwa adanya fibrilasi spontan dari otot dalam 2 atau 3 minggu menandakan bahwa setidaknya beberapa serabut saraf telah mengalami degenersi Wallerian. Kadang kadang dapat timbul gejala berupa spasme klonik otot wajah meskipun hal tersebut jarang parah. Sindrom air mata buaya, suatu lakrimasi unilateral pada saat makan bisa terjadi beberapa kasus, yang terjadi akibat berpindahnya serabut saraf dari ganglion genikulatum ke glandula lakrimalis. Lebih dari 50% kasus Bell’s palsy sembuh sempurna dalam kurun waktu beberapa bulan.5
VIII.KESIMPULAN
1. Parese nervus fasialis perifer dapat terjadi dengan berbagai etiologi diantaranya trauma, tumor, toksin, congenital, penyakit tertentu, serta idiopatik (Bell’spalsy).
2. Manifestasi klinik dari parese nervus fasialis tergantung dari lokasi lesinya
3. Prognosis parese nervus fasialis perifer tergantung dari cepat tidaknya tindakan.


CONTOH KASUS
I. IDENTITAS
Nama : TN .L
Jenis Kelamin : LAKI-LAKI
Umur : 36 tahun
Pendidikan : SMA
Agama : Protestan
Tgl Masuk : 22 Agustus 2010 , pukul 22.00WIB


II. ANAMNESIS
Auto-alloanamnesis (dari IGD tanggal 22-08-10 pukul 22.00WIB)

A. Keluhan Utama :
Cedera di kepala dengan perdarahan di telinga kanan sejak kurang lebih 2 jam SMRS.

B. Riwayat Penyakit Sekarang : 
Pasien laki-laki datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan cedera kepala ringan disertai perdarahan di telinga kanan sejak ± 2 jam SMRS. Sebelumnya OS terlibat dalam kecelakaan kerja di mana OS jatuh dari skyholder setinggi ± 20 meter.

Menurut OS, sebelum jatuh dia sempat berpaut pada kayu staging dan bagian muka sebelah kirinya sempat di hentam serpihan kayu sebelum OS jatuh ke tanah. Posisi ketika jatuh tidak diketahui. OS sempat pingsan, mual, muntah dan pusing. Lama pingsan tidak diketahui tapi OS sudah sadar penuh sewaktu datang ke IGD. OS sadar telinganya berdarah selepas sadar dari pingsannya. Jumlah perdarahan banyak, warna merah segar. 

OS mengeluh perdarahan di telinga kanan tetap berlangsung selepas ± 2 jam pasca kecelakaan. OS juga nyeri pada telinga kanan dan mengeluh pendengaran di telinga kanan agak terganggu serta bagian muka sisi kanan terasa agak baal dan agak tidak nyaman. OS merasa sakit di seluruh tubuh dan agak sedikit pusing. Keluhan sesak nafas di sangkal.


C. Riwayat Penyakit Dahulu : 
Keluhan di telinga pertama kali dirasakan. Sebelumnya OS tidak pernah terlibat dalam sebarang kecelakaan kerja. Riwayat penyakit sistemik lain disangkal.

D. Riwayat Penyakit Keluarga : 
Riwayat hipertensi (-), sakit gula (-), infeksi kronis (-), asma (-), tumor (-). Tiada anggota keluarga dengan gejala yang sama.

E. Riwayat Kebiasaan :
Makan minum biasa 3 kali sehari, riwayat merokok (+), konsumsi alcohol (+), olahraga (-), Riwayat pemakaian alat pelindung diri sewaktu bekerja (-),

III. PEMERIKSAAN FISIK
Kesadaran : Compos mentis GCS: 15
Keadaan umum : tampak sakit berat
Tinggi Badan : 168 cm Berat Badan : 70 kg


Tanda Vital
Tekanan darah : 100/80 mmHg
Nadi : 90 x/menit
Suhu : 37.6 oC
Pernafasan : 16 x/menit
Kepala : normocephali, vulnus excoriatum di bawah pelipis kanan, vulnus laseratum pada wajah
Mata : konjungtiva tidak pucat, sklera tidak ikterik, pupil isokor, refleks cahaya langsung +/+, refleks cahaya tidak langsung +/+
Hidung : normal
Mulut : normal
Leher : tidak tampak distensi vena, trachea teraba lurus di tengah, KGB dan tiroid tidak teraba membesar

Thorax
Paru

Inspeksi : tipe pernafasan abdominal-torakal, tampak simetris dalam keadaan statis maupun dinamis, jejas (-)
Auskultasi : suara nafas vesikuler,ronki (-),wheezing (-)

Jantung
Auskultasi : bunyi jantung I & II normal, splitting (-), irama regular, murmur (-), gallop (-)

Abdomen :datar, supel, nyeri tekan (-), nyeri lepas (-), hepatosplenomegali (-), bising usus (+) normal

Ekstremitas

Atas : tidak sianosis, akral hangat, tidak ada oedem, pulsasi arteri radialis teraba normal, vulnus laseratum di              lengan kanan
Bawah : tidak sianosis, akral hangat, tidak edema, pulsasi arteri dorsalis pedis dan arteri tibialis posterior                        teraba, vulnus laseratum di paha kanan
Genital : tidak diperiksa
Pemeriksaan motorik N.VII perifer :  
1. m. frontalis Mengangkat alis ke atas 0
2. m. sourcilier Mengerutkan alis 0
3. m. piramidalis Angkat & kerutkan hidung ke atas 0
4. m. orbikularis okuli Pejam mata sekuatnya 1
5. m. zigomatikus Tertawa lebar sehingga tampak gigi 0
6. m. levator komunis Memoncongkan mulut ke depan sampai terlihat gigi 1
7. m. businator Menggembungkan kedua2 pipi 1
8. m. orbikularis oris bersiul 1
9. m. triangularis Tarik kedua sudut bibir ke bawah 1
10. m. mentalis Memoncongkan mulut yg tertutup rapat ke depan 1

Total skor: 6/30 = 20%       Grade : severe dysfunction

Pemeriksaan Penunjang :
(a) Pemeriksaan darah lengkap 
HGB 13,8 g/dl 12,0-14,0 g/dl Normal
HCT 39% 37-43% Normal
PLT 270 x 103/mm3 150-390x103/mm3 Normal
WBC 7,8 x 103/mm3 3,5-10,0 x 103/mm3 Normal
RBC 4,68 x 106/mm3 3,8-5,8 x 106/mm3 Normal
LED 27 47 Normal
MCV 88 fl 80-97 fl Normal
MCH 29,4 pg 26,5-33,5 pg Normal
MCHC 33,6 g/dl 31,5-35,0 g/dl Normal
RDW 13,1 % 10,1-15,0 % Normal
(b) Pemeriksaan kimia darah 
SGOT 43/ul 38/ul Meningkat
SGPT 49/ul 41/ul Meningkat
Ureum 25,5 mg/dl 10-50 mg/dl Normal
Creatinine 0,76 mg/dl 0,7-1,2 mg/dl Normal
Albumin 4,8 mg/dl 3,4 – 4,8 mg/dl Normal perbatasan
Natrium 136 meq/L 135-147 meq/L Normal
Kalium 2,7 meq/L 3,5-5.0 meq/L Normal
Clor 96 meq/L 94-11,1 meq/L Normal
Gula Darah Sewatu 97 mg/dl 70-140 mg/dl Normal

(c) CT-Scan mastoid tanpa injeksi:

Hasil interpretasi: 

- Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan
- Tampak perdarahan pada telinga tengah dan antrum mastoid kanan
- Cellulae mastoidea kanan tampak bayangan udara di sertai perdarahan
- Tegmen tympani baik. Sinus sigmoid kanan tampak menyempit (tertekan oleh fragmen tulang)
- CAE kanan dan kiri tampak cerah
- Mastoid air cells kiri cerah
- Cerebellum dan batang otak baik
- Sebagian parenkim cerebri frontal, temporal dan occipital yang ter’scanning’ tampak baik. Tidak tampak perdarahan. 
Kesimpulan: 
 Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan pada telinga tengah dan mastoid kanan.
(d) Test Audiometri & Tympanometri: 

















Hasil interpretasi: 
- Telinga kanan: AC > BC. Gap (+) sebanyak > 10 dB.
Tympanogram: kemungkinan ada cairan di telinga tengah
- Telinga kiri: AC> BC. Gap (+) sebanyak < 10 dB
Tympanogram: normal
Kesan: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan

RESUME
Pasien laki-laki berusia 36 tahun datang di hantar ke IGD RSOB dengan keluhan cedera kepala di sertai perdarahan di telinga kanan sejak ± 2 jam SMRS. OS sebelumnya ada riwayat jatuh dari ketinggian ± 20m. OS sempat pingsan, mual dan muntah sebelum masuk ke IGD.
Pemeriksaan fisik di dapatkan: perdarahan aktif di telinga kanan warna merah segar, CAE kanan menyempit dengan sedikit tonjolan tulang, vulnus excoriatum di pelipis kanan bawah, vulnus laseratum di wajah, lengan kanan bawah dan paha kanan.
Status neurologis:
- Mulut terlihat sedikit mencong ke kiri
- kelopak mata kanan tidak dapat menutup
- tidak dapat mengangkat alis kanan
- tidak dapat mengerutkan alis
- tidak dapat mengangkat dan mengerutkan hidung ke atas
- tidak bisa tertawa lebar
- tidak bisa memoncongkan bibir kedepan
- tidak bisa menggembungkan pipi kiri
- tidak dapat bersiul
- tidak dapat menarik sudut bibir kanan ke bawah


Pemeriksaan penunjang:
1. CT-scan: Fraktur multiple pada temporal mastoid kanan disertai perdarahan pada telinga tengah dan mastoid kanan.
2.Audiometri: tuli konduktif derajat sedang telinga kanan
3.Timpanometri: cairan di telinga tengah auris dextra


IV. DIAGNOSIS KERJA

Paresis nervus fasialis perifer dextra dan tuli konduktif derajat sedang auris dextra e.c fraktur multiple os temporal mastoid dextra.
Dasar: dari hasil anamnesis dengan riwayat cedera kepala akibat terjatuh dari tempat tinggi, hasil dari pemeriksaan motorik N.VII dengan skor 20%, hasil CT-scan menunjukkan adanya tanda fraktur di temporal mastoid dextra dan hasil audiometri yang menunjukkan AC> BC dengan gap > 10 dB pada telinga kanan.

V. DIAGNOSIS BANDING
Paresis nervus fasialis central

V. PROGNOSIS
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam

VI. PENATALAKSANAAN

1. IVFD Ringer Laktat 20 tpm
2. Analgetic morphine dalam larutan infuse
3. Observasi airway, breathing, circulation dan tanda vital
4. Posisikan pasien dalam setengah duduk.
5. Hentikan perdarahan di telinga dengan depth tampon
6. Cuci telinga kanan dengan H2O2
7. Antibiotic tetes telinga pada auris kanan
8. Rujuk ke spesialis THT dan bedah



DAFTAR PUSTAKA

1. Lumbantobing SM, Neurologi KlinikPemeriksaan Fisik dan Mental: Saraf Otak, FK UI Jakarta 2004, hal 55-59

2. Meritt HH. A. Texbook of Neurogy : Injury to Cranial and Peripheral Nerves, Philadelphia; 1967. p. 378-81

3. Bradley WG,Daroff RB,Fenichel GM,Marsden CD. Neurologi in Clinical Practise: The Cranial Neuropathies. Vol II. Boston : Butterworth-Heinemann; 1989.p.1557

4. Walton SJ.Brain’s Disease of of the Nervous System: the Seventh of Facial Nerve.6th ed.ford.Oxford University Press;1985.p.114-15

5. Mardjono M.Sidharta P.Neurologi Klinis Dasar: Saraf Otak dan Patologinya. Jakarta: Dian Rakyat; 2000.hal 162

6. Harsono.Kapita Selekta Neurologi: Neuropati dan Miopati.Edisi II.Yogyakarta :Gadjah Mada University Press;2000.hal 297-98









RHINOLITHIASIS

ANATOMI HIDUNG 
Hidung luar berbentuk pyramid dengan bagian-bagiannya dari atas ke bawah yaitu: pangkal hidung(bridge),batang hidung(dorsum nasi), puncak hidung (hip), ala nasi, kolumela dan lubang hidung (nares anterior).
Manakala hidung luar dibentuk oleh kerangka tulang dan tulang rawan yang dilapisi oleh kulit,jaringan kulit dan beberapa otot kecil yang berfungsi untuk melebarkan dan menyempitkan lubang hidung. Kerangka terdiri dari tulang hidung (os nasal), processus frontalis os maxilla, processus nasalis os frontal.
Sedangkan tulang rawan terdiri dari beberapa pasang tulang rawan yang terletak di bagian bawah hidung iaitu sepasang kartilago nasalis latelaris superior, sepasang kartilago nasalis latelaris inferior (kartilago ala mayor) dan tepi anterior kartilago septum.
Rongga hidung/cavum nasi berbentuk terowongan dari depan ke belakang dipisahkan,oleh septum nasi dibagian tengahnya menjadi cavum nasi kanan dan kiri. Pintu atau lubang masuk cavum nasi bagian depan disebut nares anterior dan lubang belakang disebut koana yang menghubungkan cavum nasi dengan nasofaring.
Bagian cavum nasi yang letaknya sesuai dengan ala nasi, tepatnya dibelakang nares anterior pula disebut vestibulum.Vestibulum ini dilapisi oleh kulit yang mempunyai banyak kelenjar sebasea dan rambut panjang yang disebut vibrise. Tiap cavum nasi mempunyai 4 buah dinding iaitu dinding medial,lateral,inferior dan superior.
Dinding medial hidung ialah septum nasi. Septum nasi dibentuk oleh tulang rawan dan tulang,dimana bagian tulangnya adalah lamina perfendikularis os etmoid, vomer, krista nasalis os palatina sedangkan bagian tulang rawannya adalah kartilago septum (lamina kuadrangularis) dan kolumela.Septum nasi dilapisi oleh perikondrium pada bagian tulang rawan dan periosteum pada bagian tulangnya sedangkan diluarnya dilapisi oleh mukosa hidung. Dibagian depan septum nasi terdapat daerah yang disebut little atau pleksus kleselbach yang merupakan tempat pertemuan pembuluh darah di hidung.

Dinding lateral hidung terdapat 4 buah konka. Yang terbesar dan letaknya paling bawah ialah konka inferior,kemudian yang lebih kecil ialah konka media dan yang lebih kecil lagi ialah konka superior,sedangkan yang terkecil adalah konka suprema (biasanya rudimenter). Konka inferior merupakan tulang tersendiri yang melekat pada os maxilla dan labirin etmoid,sedangkan konka media,superior,dan suprema adalah bagian dari labirin etmoid.
Diantara konka-konka dan dinding lateral hidung terdapat rongga sempit yang disebut meatus.Tergantung dari letak meatus ada tiga meatus yaitu inferior,media,dan superior.Meatus inferior terletak diantara konka inferior dengan dasar hidung dan dinding lateral rongga hidung. Pada mestus inferior terdapat muara(ostium) duktus nasolakrimalis. Meatus medius terletak diantara konka media dan dinding lateral rongga hidung. Pada meatus medius terdapat muara sinus frontal,sinus maxilla,sinus etmois posterior.Meatus superior terletak diantara konka superior dan konka medis terdapat muara sinus etmoid posterior dan sinus sfenoid.
Dinding inferior merupakan dasar rongga hidung dan dibentuk oleh os maxilla dan os palatum.Dinding superior atau atap hidung sangat sempit dan dibentuk oleh lamina kribiformis,yang memisahkan rongga tengkorak dari rongga hidung.Lamina kribiformis merupakan lempeng tulang yang berasal dari os etmoid, tulang ini berlubang-lubang seperti saringan, tempat masuknya serabut saraf olfaktorius. Dibagian posterior atap rongga hidung terbentuk oleh os sfenoid. Semua bangunan ini membentuk batas rongga hidung.

KOMPLEKS OSTIOMEATAL (KOM)

Kompleks ostiomeatal (KOM) merupakan celah pada dinding lateral hidung yang dibatasioleh konka media dan lamina papirasea. Strukstur anatomi penting yang membentuk KOM adalah prosessus unsinatus, infundibulum ethmoid, hiatus semilunaris, bula ethmoid, agger nasi dan resessus frontal. KOM merupakan unti fungsional yang merupakan tempat ventilasi dan drenase dari sinus-sinus yang letaknya di anterior iaitu sinus maksila, ethmoid anterior dan frontal.
Jika terjadi sumbatan pada celah yang sempit ini maka akan terjadi perubahan patologis yang signifikan pada sinus-sinus yang terkait.
PERDARAHAN HIDUNG

Bagian atas rongga hidung berasal dari a.ethmoid anterior dan posterior yang merupakan cabang dari a.oftalmika dari a.karotis interna.
Bagian bawah rongga hidung mendapat perdarahan dari cabang a.maksilaris interna, diantaranya ialah hujung a.palatina mayor dan a.sfenopalatina yang keluar dari foramen sfenopalatina dan memasuki rongga hidung di belakang hujung posterior konka media. Manakala bagian depan hidung mendapat pendarahan dari cabang-cabang a.fasialis.
 Pada bagian depan septum terdapat anastomosis dari cabang-cabang a.sfenopalatina, a.ethmoid anterior, a.labialis superior dan a.palatina mayor yag disebut pleksus Kiesselbach (Little’s area). Pleksus ini terletak superficial dan mudah cedera oleh trauma sehingga sering menjadi sumber epistaksis terutama pada anak.
Vena-vena hidung mempunyai nama yang sama dan berjalan berdampingan dengan arterinya. Vena di vestibulum dan struktur luar hidung bermuara ke v.oftalmika yang berhubungan dengan sinus kavernosus. Vena-vena di hidung tidak mempunyai katup sehingga merupakan faktor predisposisi untuk mudahnya penyebaran infeksi sampai ke intrakranial.


PERSARAFAN HIDUNG [1]
Bagian depan dan atas ringga hidung mendapat persarafan sensoris dari n.ethmoidalis anterior yang merupakan cabang dari n.nasosiliaris yang erasal dari n.oftalmikus (N.V-1).
Rongga hidung lainnya sebagian besar mendapat persarafan sensoris dari n.maksila melalui ganglion sfenopalatina. Ganglion sfenopalatina selain memberikan persarafan sensoris juga memberikan persarafan vasomotor atau otonom untuk mukosa hidung. Ganglion ini menerima serabut saraf sensoris dari n.maksila (N.V-2), serabut parasimpatis dari n.petrosus superfisialis mayor dan serabut saraf simpatis dari n.petrosus profundus. Ganglion sfenopalatina terletak di belakang dan sedikit diatas hujung posterior konka media.
Untuk fungsi penghidu pula berasal dari n.olfaktorius. saraf ini turun melalui lamina kribosa dari permukaan bawah bulbus olfaktorius dan kemudian berakhir pada sel-sel reseptor penghidu pada mukosa olfaktorius di daerah sepertiga atas hidung.
FISIOLOGI HIDUNG [1]
Berdasarkan teori struktural, teori evolusioner dan teori fungsional, fungsi fisiologis hidung dan sinus paranasal adalah:
1. Fungsi respirasi untuk mengatur kondisi udara (air conditioning), penyaring udara, humidifikasi, penyeimbang dalam pertukaran tekanan dan mekanisme imunologik lokal. Udara inspirasi masuk ke hidung menuju sistem respirasi melalui nares anterior, lalu naik ke atas setinggi konka media dan kemudian turun ke bawah ke arah nasofaring. Aliran udara di hidung ini berbentuk lengkungan atau arkus.
Udara yang dihirup akan mengalami humidifikasi oleh palut lendir.pada musim panas, udara hampir jenuh oleh uap air, sehingga terjadi sedikit penguapan udara inspirasi oleh palut lendir sedangkan pada musim dingin akan terjadi sebaliknya. Suhu udara yang melalui hidung diatur sehingga berkisar 37 derajat Celcius. Fungsi pengatur suhu ini dimungkinkan oleh banyaknya pembuluh darah di bawah epitel dan adanya permukaan konka dan septum yang luas.
Partikel debu, virus, bakteri dan jamur yang terhirup bersama udara akan disaring di hidung oleh rambut (vibrissae) pada vestibulum nasi, silia dan palut lendir. Debu dan bakteri akan melekat pada palut lendir dan partikel-partikel yang besar akan dikeluarkan dengan refleks bersin.
2. Fungsi penghidu kerana terdapatnya mukosa olfaktorius dan reservoir udara untuk menampung stimulus penghidu. Mukosa olfaktorius pada atap rongga hidung, konka superior dan sepertiga bagian atas septum berfungsi sebagai indera penghidu. Partikel bau dapat mencapai daerah ini dengan cara difusi dengan palut lendir atau bila menarik nafas dengan kuat.
Fungsi hidung untuk membantu indra pencecap adalah untuk membedakan rasa manis yang berasal dari berbagai macam bahan seperti perbedaan rasa manis strawberi, jeruk, pisang atau coklat. Juga untuk membedakan rasa asam yang berasal dari cuka dan asam jawa.
3. Fungsi fonetik yang berguna untuk resonansi suara, membantu proses bicara dan mencegah hantaran suara sendiri melalui konduksi tulang. Resonansi oleh hidung penting untuk kualitas suara ketika berbicara dan menyanyi. Sumbatan hidung akan menyebabkan resonansi berkurang atau hilang sehingga terdengar suara sengau (rinolalia).
Hidung membantu pembentukan konsonan nasal (m,n,ng), rongga mulut tertutup dan hidung terbuka dan palatum mole turun untuk aliran udara.
4. Refleks nasal. Mukosa hidung merupakan reseptor refleks yang berhubungan dengan saluran cerna, kardiovaskuler dan pernafasan. Iritasi mukosa hidung akan menyebabkan refleks bersin dan nafas berhenti. Rangsang bau tertentu akan menyebabkan sekresi kelenjar liur, lambung dan pankreas.
5. Fungsi statik dan mekanik untuk meringankan beban kepala, proteksi terhadap trauma dan pelindung panas.
RINOLITIASIS
DEFINISI [2,3,4]
Rhinolithiasis adalah batu di dalam rongga hidung yang terbentuk hasil dari pengendapan senyawa organik dan anorganik dalam rongga hidung, yang menyebabkan sumbatan hidung unilateral, rhinorrhea, foetor, epistaksis, dan dapat menimbulkan komplikasi.Laporan mengenai rhinolithiasis diterbitkan pertama kali pada tahun 1654 di mana Bartholini menggambarkan sebuah benda asing batu - keras yang tumbuh di sekeliling batu ceri. Istilah rhinolithiasis ini pertama kali diciptakan pada tahun 1845 untuk menggambarkan sebagian atau seluruhnya pengapuran benda asing di dalam hidung.
Analisis kimia pertama kali dilakukan oleh Axmann pada tahun 1829 yang berhasil mendeteksi komposisi batu ini umumnya terdiri dari 90% bahan anorganik seperti garam mineral, kalsium, fosfat, magnesium karbonat, besi, aluminium dengan sisa 10% yang terbuat dari bahan organik hasil lesi dari lendir hidung misalnya asam glutamate dan glycin. Penulis ini juga menduga bahwa zat besi eksogen mungkin menjadi penyebab pembentukan nidus karena sekresi fisiologis ( lendir hidung , air mata ) yang diproduksi di hidung tidak mengandung jumlah besi yang mencukupi untuk membentuk nidus rhinolith.


EPIDEMIOLOGI [2,4]
Durasi riwayat penyakit bisa berkisar dari bulan ke dekade dan menurut epidemiologi wanita tampaknya lebih sering terkena daripada laki-laki. Meskipun sebagian besar rhinolith terdeteksi pada orang dewasa muda namun dapat juga ditemukan pada sebarang usia (6 bulan hingga 86 tahun ).

Menurut Denker dan Brünings , kejadian paling umum diamati terjadi pada anak-anak dan pasien dengan retardasi mental di mana mereka suka memasukkan benda-benda kecil seperti manik, batu kecil, koin, dan alat-alat mainan ke dalam lubang hidung .

KLASIFIKASI [2]
Sebelum ini rhinolithiasis di bagi berdasarkan true-rhinolith dan pseudo-rhinolith. Namun dewasa ini, istilah-istilah ini telah digantikan dengan eksogen dan endogen rhinolithiasis, tergantung apakah dapat ditemukan nucleus yang terdeposit di dalamnya. Rhinolith yang berkembang di dalam rongga hidung yang berasal dari batu cherry, batu kecil, pembersih hidung yang tertinggal atau benda-benda yang semacam ini disebut rhinolithiasis eksogen. Rhinolithiasis endogen adalah rhinolith dengan nucleus yang berasal dari materi tubuh sendiri misalnya gigi ektopik di sinus maksilaris, sekuester tulang, bekuan darah kering di rongga hidung dan juga bekuan lendir. Sekitar 20 % dari rhinolithiasis adalah endogen.


PATOGENESIS [2]

Patogenesis rhinolithiasis masih belum sepenuhnya diketahui dengan jelas. Terdapat empat kondisi yang memicu pembentukan rhinolithiasis yang dapat diakui dan diterima umum:

1. Benda asing masuk ke dalam hidung dan menimbulkan radang akut atau kronik dari mukosa hidung diikuti dengan pembentukan pus .
2. Benda asing yang membusuk di dalam rongga hidung memiliki kandungan tinggi kalsium dan / atau magnesium .
3. Ada obstruksi mekanikal yang memblokir pus dan lendir keluar dari rongga hidung.
4. Ada pajanan arus udara supaya pus dan secret bisa terkonsentrasi dan garam mineral dapat mengendap dan dengan demikian akan membentuk selubung pengkapuran.
 Waktu merupakan faktor utama dalam pembentukan sebuah rhinolith. Seorang penulis menggambarkan kasus seorang wanita yang telah dilakukan irigasi pada sinus maksila pada usia sepuluh tahun di mana kapas penyerap yang di masukkan ke dalam hidung pada waktu itu tertinggal dan langsung terlupakan. Setelah 27 tahun kemudian , ia datang ke sebuah klinik THT dengan keluhan gangguan pernapasan hidung . Setelah dilakukan inspeksi pada hidung, dia diberitahu bahwa napas-nya normal dan operasi eksplorasi tidak dilakukan. Justeru bau busuk terhasil dari hidungnya menyebabkan pasien itu secara sosial terisolasi dan tidak pernah menikah. Pada usia 71 tahun, pasien itu berkonsultasi dengan seorang spesialis THT untuk masalah pendengarannya dan secara kebetulan akhirnya rhinolith itu berhasil ditemukan. Batu itu berada di rongga hidung wanita tersebut selama 61 tahun.


DIAGNOSIS [2,4,5]
Dengan semakin bertambahnya ukuran rhinolithiasis, manifestasi gejala yang muncul bersifat progresif dan beragam mulai dari rhinorea unilateral (purulen dan berbau) , rhinitis supuratif unilateral dengan atau tanpa disertai sinusitis , sakit pada wajah, sakit kepala , epistaksis, gangguan pernapasan pada hidung yang berakhir dengan obstruksi total, dakriosistitis, otorrhea, foetor, kurang indra penciuman, perforasi palatum dan perforasi septum. 

Diagnosis di tegakkan berdasarkan riwayat perjalanan penyakit dan pemeriksaan nasal rutin. Foto rontgen dan endoskopi juga dapat memberikan informasi tambahan dalam menegakkan diagnosa rhinolithiasis. CT-scan terkomputerisasi bisa digunakan untuk menggambarkan ukuran dan lokasi rhinoliths dengan akurat.

Menurut Bader dan Hiliopoulo (1974), dengan semua kasus yang pernah terjadi meskipun ada gejala khas yang timbul , diagnosis rhinolith tidak selalu mudah untuk ditegakkan seperti yang telah dicatatkan oleh Seifer pada tahun 1921. Dia menggarisbawahi bahwa perlunya pemeriksaan endoskopi pada rongga hidung pada kasus curiga rhinolithiasis. Selain itu pemeriksaan rontgen juga bisa digunakan untuk menguatkan dasar diagnosis dan untuk mengevaluasi efek destrukstif dari batu tersebut di dalam rongga nasal.
Dalam sebagian besar kasus , rhinolith dijumpai terletak di meatus nasal inferior. Ada referensi yang pernah melaporkan kasus langka yang pernah terjadi seperti ditemukan benda asing hidup iaitu lintah di dalam rongga hidung. Ada juga referensi yang melaporkan kasus rhinolithiasis yang hanya berhasil terdeteksi setelah terjadinya komplikasi parah seperti perforasi dan destruksi os palatum, perluasan batu ke sinus maksilaris, tetanus wajah dan perforasi septum.

DIAGNOSIS BANDING [2]
Untuk diagnosis diferensial, semua lesi yang mampu memblokir rongga hidung dan muncul sebagai massa hasil dari pengapuran pada foto rontgen harus dipertimbangkan, misalnya calcified angiofibroma, chondrosarcoma, chondroma, osteosarcoma, dan calcified polip.

PENATALAKSANAAN
[2,3,4,5]
Terapinya adalah dengan cara dilakukan pengangkatan batu keluar dari lokasinya. Batu yang masih berukuran kecil dan memungkinkan untuk di angkat tanpa operasi dapat dikeluarkan langsung endonasal dengan menggunakan alat pengait benda asing. Jika ukuran batu besar harus dihancurkan dan fragmen akan diangkat keluar. Namun jika ukuran batu sangat besar, mungkin diperlukan pembedahan radikal seperti kasus yang dilaporkan oleh Abu Jaudeh (1951) dan Myerson (1928). Dewasa ini pengangkatan batu juga bisa dilakukan dengan menggunakan alat endoskopik nasal rigid dengan bantuan anastesi topikal.

KESIMPULAN
Meskipun rhinolithiasis merupakan kasus langka, dokter THT harus menyadari keberadaan mereka.Rhinolithiasis adalah penyakit langka yang dapat tidak terdiagnosis selama bertahun-tahun dan baru diketahui setelah timbul komplikasi. Diagnosis biasanya ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dalam kasus curiga rhinolithiasis dengan keluhan obstruksi hidung unilateral. Terapi adalah dengan pengangkatan batu keluar dari lokasinya dan mengobati komplikasi yang terjadi.


Daftar pustaka

1. Soepandi EA, Iskandar N, Bashirudin J, Restuti RD. Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT. 6th ed. FKUI. Jakarta: 2007. Halaman 118-122.
2. Brehmer D, Riemann R. The Rhinolith—A Possible Differential Diagnosis of a Unilateral Nasal Obstruction [full text].PubMed website. Vol: 2010: 845671.2010 June 17 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2892702/
3. Yuca K, Caksen H, Etlik O, Bayram I, Sakin YF, Dülger H, Kiriş M. The importance of rigid nasal endoscopy in the diagnosis and treatment of rhinolithiasis [abstract]. PubMed website. Vol: 33(1):19-22. 2005 Jul 18 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/16029942
4. P. T. Marfatia. Rhinolith. A brief review of the literature and a case report [article]. PubMed website. Postgrad Med J. 1968 June; 44(512): 478–479. [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC2466618/?page=1
5. Aziz Y, Chauder J, Hasan S.A, Hafsmi SF. Staghorn Rhinolith in Naspharynx: an Unusual Case. [full text]. Springer website. Indian J Otolaryngology. Vol: 60:91-93. [cited 2010 Aug 16]. Available: http://resources.metapress.com/pdfpreview.axd?code=kv18p8g858144611&size=largest 
6. Cesar G,Tangerina RP ,E.C.Abreu, Santos R,Gregório LC. Rhinolithiasis as cause of oronasal fistula. Rev. Bras. Otorrinolaringol. vol.71 no.1 São Paulo Jan./Feb. 2005 [cited 2010 Aug 16]. Available: http://www.scielo.br/scielo.php?pid=S0034-72992005000100019&script=sci_arttext&tlng=en
7. Ghorayeb BY. Nasal calculus [article]. Otolaryngology houston website. 2010 Aug 9 [cited 2010 Aug 29]. Available: http://www.ghorayeb.net/Rhinolith.html









TUMOR LARING

ANATOMI LARING

Laring
Laring tersusun atas 9 Cartilago ( 6 Cartilago kecil dan 3 Cartilago besar ). Terbesar adalah Cartilago thyroid yang berbentuk seperti kapal, bagian depannya mengalami penonjolan membentuk “adam’s apple”, dan di dalam cartilago ini ada pita suara. Sedikit di bawah cartilago thyroid terdapat cartilago cricoid. Laring menghubungkan laringopharynx dengan trachea, terletak pada garis tengah anterior dari leher pada vertebrata cervical 4 sampai 6.
Fungsi utama laring adalah untuk memungkinkan terjadinya vokalisasi. Laring juga melindungi jalan napas bawah dari obstruksi benda asing dan memudahkan batuk. Laring sering disebut sebagai kotak suara dan terdiri atas:
a.Epiglotis : daun katup kartilago yang menutupi ostium ke arah laring selama menelan
b.Glotis : ostium antara pita suara dalam laring
c.Kartilago Thyroid : kartilago terbesar pada trakea, sebagian dari kartilago ini membentuk jakun ( Adam’s Apple )
d. Kartilago Krikoid : satu-satunya cincin kartilago yang komplit dalam laring ( terletak di bawah kartilago thyroid )
e. Kartilago Aritenoid : digunakan dalam gerakan pita suara dengan kartilago thyroid
f. Pita suara : ligamen yang dikontrol oleh gerakan otot yang menghasilkan bunyi suara; pita suara melekat pada lumen laring.

Ada 2 fungsi lebih penting selain sebagai produksi suara, yaitu :
a.Laring sebagai katup, menutup selama menelan untuk mencegah aspirasi cairan atau benda padat masuk ke dalam tracheobroncial
b.Laring sebagai katup selama batuk

TUMOR LARING
(A) TUMOR JINAK LARING
Tumor jinak laring tidak benyak ditemukan, hanya kurang lebih 5% dari semua jenis tumor laring. Tumor jinak laring dapat berupa:
- papiloma laring ( frekuensi terbanyak)
- adenoma
- kondroma
- mioblastoma sel granuler
- hamangioma
- lipoma
- neurofibroma
Papiloma laring:
Tumor ini dapat digolongkan dalam 2 jenis:
Papiloma laring juvenile: ditemukan pada anak, biasanya berbentuk multiple dan mengalami regresi pada waktu dewasa.
Pada orang dewasa biasanya berbentuk tunggal, tidak akan mengalami resolusi dan merupakan prekanker.

BENTUK JUVENIL
Tumor ini dapat tumbuh pada pita suara bagian anterior atau daerah subglotik. Dapat pula tumbuh di plika ventrikularis atau aritenoid.Secara makroskopik bentuknya seperti buah murbei, berwarna putih kelabu dan kadang-kadang kemerahan. Jaringan tumor ini sangat rapuh dan kalau dipotong tidak menyebabkan pendarahan. Sifat yang menonjol dari tumor ini ialah sering tumbuh lagi setelah diangkat, sehingga operasi pengangkatan harus dilakukan berulang-ulang.

Gejala:
Gejala yang utama ialah suara parau. Kadang-kadang terdapat pula batuk. Apabila papiloma telah menutup rima glottis maka timbul sesak nafas dengan stridor.

Diagnosis:
Diagnosis berdasarkan anmnesis, gejala klinik, pemeriksaan laring langsung, biopsy serta pemeriksaan patologi-anatomik.

Terapi:
1. Ekstirpasi papiloma dengan beda mikro atau juga dengan sinar laser. Oleh karena sering tumbuh lagi maka tindakan ini diulangi berkali-kali. Kadang-kadang dalam seminggu sudah tampak papiloma yang tumbuh lagi.
2. Terapi terhadap penyebabnya belum memuaskan, karena sampai sekarang etiologinya belum diketahui dengan pasti.

Sekarang tersangka penyebabnya ialah virus, tetapi pada pemeriksaan dengan mikroskop electron inclusion body tidak ditemukan. Untuk terapinya diberikan juga vaksin dari massa tumor, obat anti virus, hormone, kalsium atau ID methhionin (essential amino acid).
Tidak dianjurkan memberikan radioterapi oleh karena papiloma dapat berubah menjadi ganas.

(B)TUMOR GANAS LARING/ MALIGNANCY
Penatalaksanaan keganasan di laring tanpa memperhatikan bidang rehabilitasi belumlah lengkap. Sebagai gambaran perbandingan, diluar negeri karsinoma laring menempati tempat pertama dalam urutan kegansan di bidang THT sedangkan di RS Cipto Mangunkusomo Jakarta, karsinoma laring menduduki urutan ketiga setelah karsinoma nasofaring dan tumor ganas hidung dan sinus paranasal. Menurut data statistic dari WHO (1961) yang meliputi 35 negara seperti dikutip leh Batsakis (1979), rata-rata 1.2 orang per 100 000 penduduk meninggal oleh karsinoma laring.
Etiologi: 
Etiologi karsinoma nasofaring belum diketahui dengan pasti. Dikatakan oleh para ahli bahwa perokok dan peminum alcohol merupakan kelompok orang-orang dengan resiko tinggi terhadap karsinoma laring. Penelitian epidemiologic menggambarkan beberapa hal yang diduga menyebabkan terjadinya karsinoma laring yang kuat ialah rokok, alcohol da terpajan oleh sinar radioaktif.

Penelitian yang dilakukan di RS Ciptomangunkusomo menunjukan bahwa karsinoma laring jarang ditemukan pada orang yang tidak merokok, sedangkan risiko untuk mendapatkan karsinoma laring naik sesuai dengan kenaikan jumlah rokok yang dihisap.

Yang terpenting pada penanggulangan karsinoma laring ialah diagnosis dini dan pengobatan/ tindakan yang tepat dan kuratif karena tumornya masih terisolasi dan dapat diangkat secara radikal. Tujuan utama ialah mengeluarkan bagian laring yang terkena tumor dengan memperhatikan fungsi respirasi, fonasi serta fungsi sfingter laring.

Frekuensi 
Menurut penelitian dari departemen THT FKUI/RSCM pariode 1982-1987 proporsi karsinoma laring 13,8% dari 1030 kasus keganasan THT. Jumlah kasus rata-rata 25 pertahun. Perbandingan laki dan perempuan adalah 11:1 terbanyak pada usia 56-69 tahun dengan kebiasaan merokok didapatkan pada 73.94%. Periode 1988-1992 karsinoma laring sebesar 9,97% menduduki peringkat ketiga keganasan THT (712 kasus). Karsinoma nasofaring sebesar 71,77% diikuti oleh keganasan hidung dan paranasal 10.11%, telinga 2,11%, orofaring/tonsil 1,69%, esophagus/bronkus 1,54%, rongga mulut 1,40% dan parotis 0,28%.

Histopatologi 
Ca sel skuamosa meliputi 95% sampai 98% dari semua tumor ganas laring. Ca sel skuamosa dibagi 3 tingkat diferensiasi:
a) diferensiasi baik (grade 1)
b) berdiferensiasi sedang (grade 2)
c) berdiferensiasi buruk (grade 3)
Kebanyakkan tumor ganas pita suara cenderung berdiferensiasi baik. Lesi yang mengenai hipofaring, sinus piriformis dan plika ariepiglotika kurang berdiferensiasi baik.

Klasifikasi letak tumor


Tumor supraglotik: 
Terbatas pada daerah mulai dari tepi atas epiglottis sampai batas atas glottis termasuk pita suara palsu dan ventrikel laring.

Tumor glotik:

Mengenai pita suara asli. Batas inferior glotik adalah 10 mm di bawah tepi bebas pita suara, 10
mm merupakan batas inferior otot-otot intrinsic pita suara. Batas superior adalah ventrikel laring.
Oleh karena itu tumor glotik dapat mengenai 1 atau ke 2 pita suara, dapat meluas ke subglotik
sejauh 10 mm dan dapat mengenai komisura anterior atau posterior atau prosessus vokalis
kartilago aritenoid.

Tumor subglotik:
Tumbuh lebih dari 10 mm di bawah tepi bebas pita suara asli sampai batas inferior krikoid.

Tumor ganas transglotik:
Tumor yang menyeberangi ventrikel mengenai pita suara asli dan pita suara palsu atau meluas ke
subglotik lebih dari 10 mm.

Gejala 
1. Serak: 
Gejala utama Ca laring, merupakan gejala dini tumor pita suara. Hal ini disebabkan karena gangguan fungsi fonasi laring. Kualitas nada sangat dipengaruhi oleh besar celah glotik, besar pita suara, ketajaman tepi pita suara, kecepatan getaran dan ketegangan pita suara.

Pada tumor ganas laring, pita suara gagal berfungsi secara baik disebabkan oleh ketidak teraturan pita suara, oklusi atau penyempitan celah glotik, terserangnya otot-otot vokalis, sendi dan ligament krikoaritenoid dan kadang-kadang menyerang saraf. Adanya tumor di pita suara akan mengganggu gerak maupun getaran kedua pita suara tersebut. Serak menyebabkan kualitas suara menjadi semakin kasar, mengganggu, sumbang dan nadanya lebih rendah dari biasa. Kadang-kadang bisa afoni karena nyeri, sumbatan jalan nafas atau paralisis komplit. 

Hubungan antara serak dengan tumor laring tergantung pada letak tumor. Apabila tumor laring tumbuh pada pita suara asli, serak merupakan gejala dini dan menetap. Apabila tumor tumbuh di daerah ventrikel laring, dibagian bawah plika ventrikularis atau dibatas inferior pita suara, serak akan timbul kemudian. 

Pada tumor supraglotis dan subglotis, serak dapat merupakan gejala akhir atau tidak timbul sama sekali. Pada kelompok ini, gejala pertama tidak khas dan subjektif seperti perasaan tidak nyaman, rasa ada yang mengganjal di tenggorok. Tumor hipofaring jarang menimbulkan serak kecuali tumornya eksentif.

2. Suara bergumam (hot potato voice): fiksasi dan nyeri menimbulkan suara bergumam.

3. Dispnea dan stridor:
Gejala yang disebabkan sumbatan jalan nafas dan dapat timbul pada tiap tumor laring. Gejala ini disebabkan oleh gangguan jalan nafas oleh massa tumor, penumpukan kotoran atau secret maupun oleh fiksasi pita suara. Pada tumor supraglotik dan transglotik terdapat kedua gejala tersebut. Sumbatan yang terjadi perlahan-lahan dapat dikompensasi. Pada umunya dispnea dan stridor adalah tanda prognosis yang kurang baik.

4. Nyeri tenggorok: keluhan ini dapat bervariasi dari rasa goresan sampai rasa nyeri yang tajam.

5. Disfagia:
Merupakan ciri khas tumor pangkal lidah, supraglotik, hipofaring dan sinus piriformis. Keluhan ini merupakan keluhan yang paling sering pada tumor ganas postkrikoid. Rasa nyeri ketika menelan (odinofagia) menandakan adanya tumor ganas lanjut yang mengenai struktur ekstra laring.

6. Batuk dan hemoptisis:
Batuk jarang ditemukan pada tumor ganas glotik, biasanya timbul dengan tertekanya hipofaring disertai secret yang mengalir ke dalam laring. Hemoptisis sering terjadi pada tumor glotik dan tumor supraglotik.

7. Nyeri alih ke telinga ipsilateral, halitosis, hemoptisis, batuk dan penurunan berat badan menandaka perluasan tumor ke luar laring atau metastasis jauh.

8. Pembesaran kelenjar getah bening leher dipertimbangkan sebagai metastasis tumor ganas yang menunjukkan tumor pada stadium lanjut.

9. Nyeri tekan laring adalah gejala lanjut yang disebabkan oleh komplikasi supurasi tumor yang menyerang kartilago tiroid dan perikondrium.

DIAGNOSIS 

Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan klinis. Pemeriksaan laring dapat dilakukan dengan cara tidak langsung menggunakan kaca laring atau langsung dengan mengggunakan laringoskop. Pemeriksaan ini untuk menilai lokasi tumor, penyebaran tumor kemudian dilakukan biopsy untuk pemeriksaan patologi anatomic.
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan selain pemeriksaan laboratorium darah juga pemeriksaan radiologic. Foto toraks diperlukan untuk menilai keadaan paru, ada atau tidaknya proses spesifik dan metastasis di paru. CT scan laring dapat memeperlihatkan keadaan penjalaran tumor pada tulang rawan tiroid dan daerah pre-epiglotis serta metastasis kelenjar getah bening leher.Diagnosis pasti ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomic dari bahan biopsy laring dan biopsy laring dan biopsy jarum halus pada pembesaran kelenjar getah bening di leher. Dari hasil patologi anatomi yang terbanyak adalah karsinoma sel skuamosa.

KLASIFIKASI TUMOR GANAS LARING (AJCC DAN UICC 1988)
(A) TUMOR PRIMER (T)
Supraglotik 
Tis karsinoma in situ
T1 tumr terdapat pada satu sisi suara/pita suara palsu (gerakan masih baik)
T2 tumor sudah menjalar ke 1 dan 2 sisi daerah supraglotis dan glottis masih bisa bergerak (tidak terfiksir)
T3 tumor terbatas pada laring dan sudah terfiksir atau meluas ke daerah krikoid bagian belakang, dinding medial dari sinus prirformis dan ke arah rongga pre epiglottis.
T4 tumor sudah meluas ke luar laring, menginfiltrasi orofaring jaringan lunak pada leher atau merusak tulang rawan tiroid.

Glottis 
Tis karisnoma in situ
T1 tumor mengenai satu atau dua sisi pita suara, tetapi gerakan pita suara masih baik, atau tumor sudah terdapat pada komisura anterior atau posterior.
T2 tumor meluas ke daerah supraglotis atau subglotis, pita suara masih dapat bergerak atau sudah terfiksasi (impaired mobility).
T3 tumor meliputi laring dan pita suara sudah terfiksasi.
T4 tumor sangat luas dengan kerusakan tulang rawan tiroid atau sudah keluar dari laring.

Subglotik 
Tis karsinoma in situ
T1 tumor terbatas pada daerah subglotis
T2 tumor sudah meluas ke pita, pita suara masih dapat bergerak atau sudaj terfiksasi.
T3 tumor sudah mengenai laring dan pita suara sudah terfiksasi.
T4 tumor yang luas dengan destruksi tulang rawan atau perluasan ke luar laring atau kedua- duanya.

Penjalaran ke kelenjar limfa (N)
Nx kelenjar limfa tidak teraba
N0 secara klinis kelenjar tidak teraba
N1 secara klinis tidak teraba satu kelenjar linfa dengan ukuran diameter 3 cm homolateral.
N2 teraba kelenjar limfe tunggal, ipsilateral dengan ukuran diameter 3-6cm
N2a satu kelenjar limfa ipsilateral, diameter lebih dari 3 cm tapi tidak lebih dari 6 cm.
N2b multiple kelenjar limfa ipsilateral, diameter tidak lebih dari 6 cm
N3 metastasis kelenjar limfa lebih dari 6 cm.

Metastasis jauh (M)
Mx tidak terdapat/terdeteksi.
M0 tidak ada metastasis jauh
M1 terdapat metastasis jauh.

TATALAKSANA 
Setelah diagnosis dan stadium tumor ditegakkan maka ditentukan tindakan yang akan diambil sebagai penanggulanangannya.
Ada 3 cara penanggulangan yang lazim dilakukan yakni pembedahan, radiasi, obat sitostatika atau pun kombinasi daripadanya, tergantung pada stadium penyakit dan keadaan umum pasien.
Sebagai patokan dapat dikatakan stadium 1 dikirim untuk mendapatkan radiasi, stadium 2 dan 3 dikirim untuk operasi, stadium 4 dilakukan operasi dengan rekonstruksi bila masih memungkinkan atau dikirim untuk mendapatkan radiasi.
Jenis pembedahan adalah laringektomi totalis atau pun parsial, tergantung lokasi dan penjalaran tumor, serta dilakukan juga diseksi leher radikal bila terdapat penjalaran ke kelenjar limfa leher. 
Pemakaian sitostatika belum memuaskan, biasanya jadwal peberian sitostatika tidak sampai selesai karena keadaan umum memburuk di samping harga obat ini yang relative mahal sehingga tidak terjangkau oleh pasien.
Para ahli berpendapat bahwa tumor laring ini mempunyai prognosis yang palaing baik di antara tumor-tumor daerah traktus aero-digestivus bila dikella dengan tepat, cepat dan radikal.

REHABILITASI SUARA 
Laringektomi yang dikerjakan untuk mengobati karsinoma laring menyebabkan cacat pada pasien. Dengan dilakukannya pengangkatan laring beserta pita suara yang ada di dalamnya, maka pasien akan menjdai afonia dan bernafas melalui stoma permanen di leher.
Untuk itu diperlukan rehabilitasi terhadap pasien, baik yang bersifat umum yakni agar pasien dapat bermasyarakt dan mandiri kembali maupun rehabilitasi khusus yakni rehabilitasi suara (voice rehabilitation), agar pasien dapat berbicara (bersuara) sehingga berkomunikasi verbal. Rehabilitasi suara dapat dilakukan dengan pertolongan alat bantu suara yakni semacam vibrator yang ditempelkan di daerah submandibula atau pun dengan suara yang dihasilkan dari esophagus (esophageal speech) melalui proses belajar. Banyak faktor yang mempengaruhi suksesnya proses rehabilitasi suara ini tetapi dapat disimpulkan menjadi 2 faktor utama ialah faktor fisik dan faktor psiko-sosial.
Suatu hal yang sangat membantu adalah pembentukan wadah perkumpulan guna menghimpun pasien-pasien tumor laring guna menyokong aspek psikis dalam lingkup yang luas dari pasien baik sebelum maupun sesudah operasi.

CONTOH KASUS
IDENTITAS 
Nama : Tn.A
Umur : 23 Augustus 1957 (53 tahun)
Jenis Kelamin : Laki-laki
Status : Belum menikah
Pekerjaan : Tukang bina rumah
Agama : Islam
Tanggal dirawat : 23 Augustus 2010
Ruangan : Teratai (kamar 8)

ANAMNESIS (dari IGD :23 Augustus 2010 jam 14:30 WIB)
Keluhan Utama
Benjolan di leher kanan dan kiri.

Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengeluh benjolan di leher kanan dan kirinya.Benjolan di leher kanan timbul kira-kira 5 bulan yang lalu manakala benjolan di leher kiri timbul kira-kira 2 bulan yang lalu.Benjolan yang dirasakan timbul secara tiba-tiba dan makin membesar.Os mengeluh suaranya serak kira-kira 1 bulan yang lalu.Suara serak terus-terusan dan makin lama makin memberat sehingga Os pernah kehilangan suara.Nyeri tenggorok (+) rasa seperti menyucuk.Nyeri menelan (+), boleh makan makanan lunak dan minum air.Batuk (+), selalu batuk darah kira-kira 4 sendok, darah warna merah segar dan berbusa.Pilek disangakal pasien.Demam (+) hilang timbul dan badan sering lemas.Mual (+).Muntah (-). Nyeri ditelinga kanan (+), keluar cairan (-) dan merasakan pendengarannya semakin berkurang.

Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku ada sakit paru sejak kira-kira 5 bulan lalu. Riwayat sakit maag (-), hipertensi (-), sakit gula(-), infeksi kronis (-), asma (-), alergi obat (-), dan kulit sensititif (-).

Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada ahli keluarga pasien yang mengalami penyakit yang sama. Ahli keluarga pasien riwayat hipertensi (-), sakit gula (-), infeksi kronis (-), dan asma (-). Orang tua pasien sudah meninggal.Ayahnya meninggal karena stroke dan ibunya meninggal karena sakit paru.

Riwayat Pengobatan

Pasien mendapat rawatan obat anti tuberkulosis sejak kira-kira 5 bulan lalu.Os juga pernah operasi pada kedua mata untuk kataraknya.

Riwayat Kebiasaan

Makan dan minum biasa,pasien merokok biasanya lebih satu kotak sehari tetapi pada saat ini pasien sudah berhenti merokok sejak 5 bulan lalu, minum alcohol (-), dan obat-obatan terlarang (-), olahraga(-)


PEMERIKSAAN FISIK

Kesadaran : Compos mentis, tampak sakit sedang

Tanda vital :
TD : 110/70 mmHg
Nadi : 80x/menit
RR : 20x/menit
Suhu : 36,2˚C

Kepala : Noemosefali
Mata: konjungtiva anemis (- /-), Sklera ikterik (-/-), refleks cahaya langsung (-/-), refleks cahaya tidak langsung (-/-), pupil isokor (+/+)

Leher : Tiroid tidak teraba membesar, massa (+) kanan dan kiri,padat,kenyal,rata:
• Massa di leher kanan :10cm x 3cm x 2cm
• Massa di leher kiri : 5cm x 2cm x 3cm
• Hiperemis (-)
• Immobile (-)
• Nyeri tekan (-)

Jantung : BJI - BJII normal, regular, murmur (-), gallop (–).

Paru : Suara nafas vesikuler kanan kiri, ronchi (+ / +) pada kedua apex paru,wheezing (-/-)

Perut : Datar, supel, bising usus (+) normal, nyeri tekan (-), udema (-), hepar dan lien tidak teraba membesar, ginjal tidak teraba

Ekstremitas : Akral hangat, motorik normal, udema (-)


PEMERIKSAAN PENUNJANG:

Pemeriksaan laboratorium: 
(a) Pemeriksaan darah lengkap : semua normal

(b) Pemeriksaan kimia darah: semua normal kecuali
Bilirubin total:0,33 mg/dl [0- 1.10 mg/dl :Meningkat]
SGOT :43/ul [38/ul:Meningkat]
SGPT  :49/ul [41/ul : Meningkat]
--> meningkat berkemungkinan OS konsumsi OAT (Obat Anti Tuberkulosis)

Pemeriksaan rontgen paru foto AP dan top lordotik:
• Foto : Thorax Top Lordotik
• Deskripsi : Tampak bercak infiltrat pada kedua apex paru
• Kesan : TB paru aktif duplex

Pemeriksaan endoskopi:
Menggunakan teleskop 70 °, didapatkan:
• Nasofaring :Dalam batas normal
• Epiglottis :Terdapat granula-granula
• Aritenoid :Tidak ada kelainan
• Pita suara :Tidak ada kelainan
• Pita suara palsu :Tidak ada kelainan


DIAGNOSIS KERJA:

1.Tumor laring daerah supraglotik stadium IV.
Dasar: Dari dasar epidemiologi, os seorang laki-laki dan kebiasaannya merokok.Dari gejalanya os mengalami suara serak, sulit untuk menelan dan nyeri tenggorok.Pada pemeriksaan laringoskopi serat optik didapatkan granula-granula didaerah supraglotik.Pada pemeriksaan leher didapatkan benjolan pada daerah kanan dan kiri leher yang merupakan tanda ekstensi tumor ke ekstra laring.

2.TB paru aktif duplex
Dasar: Batuk darah, terdapat bercak infiltrat pada kedua apex paru

DIAGNOSIS BANDING:


1. Tuberkulosis laring
Dasar menyokong: Os menderita tuberkulosis paru,suara serak,nyeri ditenggorok, batuk (+) dan pada pemeriksaan fisik didapatkan benjolan di leher.
Dasar penolakkan: Pada pemeriksaan laringoskopi serat optic tidak didapatkan lesi pada daerah laring.

2. Tumor jinak laring
Dasar menyokong: Os merokok dan suara serak.
Dasar penolakkan: Terdapat metastase ke kelenjar getah bening regional.


3. Nodul vocal
Dasar menyokong:Os menderita suara serak dan batuk
Dasar penolakkan: Tidak didapatkan nodul di pita suara sebesar kacang hijau atau lebih kecil yang berwarna putih.

RENCANA TINDAKAN
MEDIKAMENTOSA
1.Lanjutkan pemberian OAT.
2.OBH combi  expektoran
3.Lycoxy antioksidan

NONMEDIKAMENTOSA
1.Rencana pembedahan
(a)Laringektomi total
Adalah tindakan pengangkatan seluruh struktur laring mulai dari batas atas (epiglotis dan os
  hioid) sampai batas bawah cincin trakea.

(b)Diseksi leher
Tumor supraglotis mengadakan metastase ke kelenjar limfe leher sehingga perlu dilakukan
  tindakan diseksi leher. Pembedahan ini tidak disarankan bila telah terdapat metastase jauh.

2.Kemoterapi
Diberikan pada tumor stadium lanjut, sebagai terapi adjuvant ataupun paliatif. Obat yang diberikan adalah cisplatinum 80–120 mg/m2 dan 5 FU 800–1000 mg/m2.

3.Rehabilitasi
Rehabilitasi setelah operasi sangat penting karena telah diketahui bahwa tumor ganas laring yang diterapi dengan seksama memiliki prognosis yang baik. rehabilitasi mencakup : “Vocal Rehabilitation, Vocational Rehabilitation dan Social Rehabilitation”.

PROGNOSA
Tergantung dari stadium tumor, pilihan pengobatan, lokasi tumor dan kecakapan tenaga ahli. Secara umum dikatakan lima tahun survival pada karsinoma laring stadium I 90 – 98% stadium II 75 – 85%, stadium III 60 – 70% dan stadium IV 40 – 50%. Adanya metastase ke kelenjar limfe regional akan menurunkan kadar survival sebanyak lima tahun sebesar 50%.



DAFTAR PUSTAKA


1. Prof. Dr. Efiaty Arsyad Soepardi, dkk. Buku Ajar Telinga Hidung Tenggorok Kepala & Leher. Edisi keenam. 2007. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
2. Adam Boies H. Buku Ajar Penyakit THT. Edisi keenam. 1997. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC


LABIRINITIS

PENDAHULUAN

Labirinitis adalah radang pada telinga dalam (labirin). Labirinitis yang mengenai seluruh bagian labirin, disebut labirinitis umum atau difus dengan gejala vertigo berat dan tuli saraf yang berat, sedangkan labirinitis yang terbatas atau labirinitis sirkumskripta menyebabkan terjadinya vertigo saja atau tuli saraf saja.

Labirinitis terjadi oleh karena penyebaran infeksi ke ruang perilimfa. Terdapat dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan libirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam bentuk labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difus. Selain itu, ada juga yang disebut sebagai labirinitis toksik akibat keracunan zat-zat toksik atau antibiotik yang ototoksik.

Pada labirinitis serosa , toksin menyebabkan disfungsi labirin tanpa invasi sel radang, sedangkan pada labirinitis supuratif, sel radang menginvasi labirin, sehingga terjadi kerusakan yang irreversible, seperti fibrosis dan osifikasi.

Pada kedua bentuk labirinitis itu, operasi harus segera dilakukan untuk menghilangkan infeksi dari telinga tengah.Kadang-kadang diperlukan juga drenase nanah dari labirin untuk mencegah terjadinya meningitis.Pemberian antibiotik yang adekuat terutama ditujukan pada pengobatan otitis media kronik dengan atau tanpa kolesteatoma.


PEMBAHASAN

1.ANATOMI DAN HISTOLOGI TELINGA

Telinga merupakan organ pendengaran sekaligus juga organ keseimbangan. Telinga terdiri atas 3 bagian yaitu telinga luar, tengah dan dalam .
1(a) TELINGA LUAR
Telinga luar terdiri atas aurikula,meatus akustikus eksternus dan membran timpani. Aurikulum disusun oleh tulang rawan elastin yang ditutupi oleh kulit tipis yang melekat erat pada tulang rawan. Dalam lapisan subkutis terdapat beberapa lembar otot lurik yang pada manusia rudimenter.

Meatus akustikus eksternus berbentuk tabung dengan panjangnya kira-kira 2,5- 3 cm manakala diameternya bervariasi yaitu lateral biasanya lebih lebar dari medial.Meatus akustikus eksternus terdiri dari dua bagian yaitu bagian lateral dan medial.Bagian lateral adalah pars kartilagenus yaitu 1/3 luar merupakan lanjutan dari aurikulum, mempunyai rambut, kelenjar sebasea dan kelenjar serumenalis serta kulit melekat erat dengan perikondrium.Bagian medial adalah pars osseus yaitu 2/3 medial merupakan bagian dari os temporalis, tidak berambut, ada penyempitan di istmus yaitu kira-kira 5 mm dari membaran timpani.

Membran timpani memisahkan meatus acusticus externus dan telinga tengah.Membran timpani berbentuk bundar dan cekung bila dilihat dari arah liang telinga dengan diameter kira-kira 1 cm. Bagian atas disebut pars flaksida sedangkan bahgaian bawah pars tensa.Pars flaksida hanya berlapis dua , yaitu bagian luar ialah lanjutan epitel kulit liang telinga dan bagian dalam dilapisi oleh sel kubus bersilia.Pars tensa mempunyai satu lapis lagi ditengah, yaitu lapisan yang terdiri dari serat kolagen dan sedikit serat elastin yang berjalan secara radier dibagian luar dan sirkuler dibagian dalam. Serat inilah yang menyebabkan refleks cahaya.Refleks cahaya terletak dikuadran anterior inferior.Bayangan penonjolan bagian bawah maleus pada membran timpani disebut umbo.Membran timpani dibagi dalam 4 kuadran, dengan menarik garis searah dengan prosessus longus maleus dan garis yang tegak lurus pada garis itu di umbo, sehingga didapatkan bagian superior-anterior,superior-posterior, inferior-anterior serta inferior-posterior, untuk menyatakan letak perforasi membran timpani.[1.2]


 1(b)TELINGA TENGAH

Telinga tengah atau rongga telinga adalah suatu ruang yang terisi udara yang terletak di bagian petrosum tulang pendengaran. Ruang ini berbatasan di sebelah posterior dengan ruang-ruang udara mastoid dan disebelah anterior dengan faring melalui tuba Eustachius. Epitel yang melapisi rongga timpani dan setiap bangunan di dalamnya merupakan epitel selapis gepeng atau kuboid rendah, tetapi di bagian anterior pada pada celah tuba Eustachius epitelnya selapis silindris bersilia.

Di bagian dalam rongga ini terdapat tiga jenis tulang pendengaran yaitu tulang maleus, inkus dan stapes. Ketiga tulang ini merupakan tulang kompak tanpa rongga sumsum tulang. Tulang maleus melekat pada membran timpani. Tulang maleus dan inkus tergantung pada ligamen tipis di atap ruang timpani. Lempeng dasar stapes melekat pada tingkap celah oval (fenestra ovalis) pada dinding dalam. Ada dua otot kecil yang berhubungan dengan ketiga tulang pendengaran. Otot tensor timpani terletak dalam saluran di atas tuba auditiva, tendonya berjalan mula-mula ke arah posterior kemudian mengait sekeliling sebuah tonjol tulang kecil untuk melintasi rongga timpani dari dinding medial ke lateral untuk berinsersi ke dalam gagang maleus. Tendo otot stapedius berjalan dari tonjolan tulang berbentuk piramid dalam dinding posterior dan berjalan anterior untuk berinsersi ke dalam leher stapes. Otot-otot ini berfungsi protektif dengan cara meredam getaran-getaran berfrekuensi tinggi .[2]

1(c)TELINGA DALAM 

Telinga dalam adalah suatu sistem saluran dan rongga di dalam pars petrosum tulang temporalis. Telinga dalam di bentuk oleh labirin tulang (labirin oseosa) yang di da-lamnya terdapat labirin membranasea. Labirin tulang berisi cairan perilimf sedangkan labirin membranasea berisi cairan endolimf.

Labirin tulang terdiri atas tiga komponen yaitu kanalis semisirkularis, vestibulum, dan koklea tulang. Labirin tulang ini di sebelah luar berbatasan dengan endosteum, sedangkan di bagian dalam dipisahkan dari labirin membranasea yang terdapat di dalam labirin tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan endolimf.Vestibulum merupakan bagian tengah labirin tulang, yang berhubungan dengan rongga timpani melalui suatu membran yang dikenal sebagai fenestra ovale. Ke dalam vestibulum bermuara tiga buah kanalis semisirkularis yaitu kanalis semisirkularis anterior, posterior dan lateral yang masing-masing saling tegak lurus. Setiap saluran semisirkularis mempunyai pelebaran atau ampula. Walaupun ada tiga saluran tetapi muaranya hanya lima karena ujung posterior saluran posterior yang tidak berampula menyatu dengan ujung medial saluran anterior yang tidak bermapula dan bermuara ke dalam bagian medial vestibulum oleh krus kommune. Ke arah anterior rongga vestibulum berhubungan dengan koklea tulang dan fenestra rotundum.Koklea merupakan tabung berpilin mirip rumah siput. Bentuk keseluruhannya mirip kerucut dengan dua tiga-perempat putaran. Sumbu koklea tulang di sebut mediolus. Tonjolan tulang yang terjulur dari modiolus membentuk rabung spiral dengan suatu tumpukan tulang yang disebut lamina spiralis. Lamina spiralis ini terdapat pembuluh darah dan ganglion spiralis, yang merupakan bagian koklear nervus akustikus.

Labirin membransea terletak di dalam labirin tulang, merupakan suatu sistem saluran yang saling berhubungan dilapisi epitel dan mengandung endolimf. Labirin ini dipisahkan dari labirin tulang oleh ruang perilimf yang berisi cairan perilimf. Pada beberapa tempat terdapat lembaran-lembaran jaringan ikat yang mengandung pembuluh darah melintasi ruang perilimf untuk menggantung labirin membranasea.Labirin membranasea terdiri atas duktus semisirkularis membranasea,ultrikulus, sakulus dan ductus koklearis. [1,2]


2.FISIOLOGI TELINGA


2(a)PENDENGARAN
Mendengar adalah kemampuan untuk mendeteksi tekanan vibrasi udara tertentu dan menginterpretasikannya sebagai bunyi. Telinga mengkonversi energi gelombang tekanan menjadi impuls syaraf, dan korteks serebri mengkonversi impuls ini menjadi bunyi.Bunyi memiliki frekuensi, amplitude dan bentuk gelombang. Frekuensi gelombang bunyi adalah kecepatan osilasi gelombang udara per unit waktu. Telinga manusia dapat menangkap frekuensi yang bervariasi dari sekitar 20 sampai 18,000 Hertz (Hz). Satu hertz adalah satu siklus per detik.Amplitudo adalah ukuran energi atau intensitas fluktuasi tekanan. Gelombang bunyi dengan amplitude yang berbeda diinterpretasikan sebagai perbedaan dalam kekerasan.Ukuran bunyi dalam decibel (dB).

Gelombang bunyi ditangkap oleh aurikulum dan ditransmisikan ke dalam meatus aukustikus eksternus kemudian bergerak menuju kanalis akustikus eksternus ke arah membran timpani.Gelombang bunyi menyebabkan vibrasi membran timpani. Sifat membrane adalah aperiodis yang tidak memiliki frekuensi alaminya sendiri tetapi mengambil karakteristik vibrasi yang terjadi.

Getaran tersebut menggetarkan membran timpani diteruskan ke telinga tengah melalui rangkaian tulang pendengaran yang akan mengamplifikasi getaran melalui daya ungkit tulang pendengaran dan perkalian perbandingan luas membaran timpani dengan fenestra ovale.Muskulus stapedius dan tensor timpani berkontraksi secara reflektorik sebagai respons terhadap bunyi yang keras.Kontraksi akan menyebabkan membran timpani menjadi tegang osikular lebih kaku dan dengan demikian mengurangi transmisi suara.

Energi getar yang telah diamplifikasikan ini diteruskan ke stapes yang akan menggerakan fenestra ovale sehingga perilimfa pada skala vestibuli bergerak.Getaran mennggerakkan membrana Reissner mendorong endolimfa sehingga akan menimbulkan gerakan relatif antara membran basilaris dan membran tektoria.Proses ini merupakan rangsangan mekanik yang menyebabkan defleksi seterosilia sel-sel rambut, sehingga kanal ion terbuka dan terjadi penglepasan ion bermutan listrik dari badan sel. Keadaan ini menimbulkan proses depolarisasi sel-sel rambut, sehingga melepaskan neurotransmiter ke dalam sinaps yang akan menimbulkan potensial aksi pada saraf auditorius, lalu dilanjutkan ke nukleus auditorius sampai ke korteks pendengaran(area 39-40) di lobus temporalis.[2]

2(b)KESEIMBANGAN
Keseimbangan dan orientasi tubuh seseorang terhadap lingkungan di sekitarnya tergantung pada input sensorik dari reseptor vestibuler di labirin, organ visual dan proprioseptif. Reseptor keseimbangan terdiri dari macula yaitu reseptor keseimbangan statis yang terdapat di utrikulus dan sakulus manakala krista ampularis yaitu reseptor keseimbangan dinamis yang terdapat pada kanal semisrkular, bereaksi terhadap gerakan rotasi pada sumbu bidang.

Gerakan atau perubahan kepala dan tubuh akan menimbulkan perpindahan cairan endolimfa di labirin dan selanjutnya silia sel rambut akan menekuk. Tekukan silia menyebabkan permeabilitas membran sel berubah, sehingga ion kalsium akan masuk ke dalam sel yang menyebabkan terjadinya proses depolarisasi dan akan merangsang penglepasan neurotransmitter eksitator yang selanjutnya akan meneruskan impuls sensoris melalui saraf aferen ke pusat keseimbangan di otak. Sewaktu berkas silia terdorong ke arah berlawanan, maka terjadi hiperpolarisasi.

Organ vestibuler berfungsi sebagai transduser yang mengubah energi mekanik akibat rangsangan otolit dan gerakan endolimfa di dalam kanalis semisirkularis menjadi energi biolistrik, sehingga dapat memberi informasi mengenai perubahan posisi tubuh akibat percepatan linier atau percepatan sudut. Dengan demikian dapat memberi informasi mengenai semua gerak tubuh yang sedang berlangsung.[1]

3.LABIRINITIS

I.DEFINISI
Labirinitis adalah infeksi pada telinga dalam (labirin) yang disebabkan oleh bakteri atau virus. Labirinitis merupakan komplikasi intratemporal yang paling sering dari radang telinga tengah. [2]

II.EPIDEMIOLOGI
Labirinitis lebih sering terjadi setelah infeksi telinga tengah, meningitis , atau infeksi saluran pernafasan atas. Hal ini juga dapat terjadi setelah trauma, tumor, atau setelah menelan zat-zat beracun. Hal ini dianggap lebih umum pada wanita dari pada laki-laki.Viral labirinitis adalah bentuk paling umum labirinitis. Viral labirinitis biasanya diamati pada orang dewasa berusia 30-60 tahun dan jarang diamati pada anak-anak.[3] Hal ini dapat dilakukan perbandingan laki-laki banding perempuan 2:1 sekitar dekade empat.Pada era pasca-antibiotik, labirinitis bakteria jarang ditemukan.Biasanya terlihat pada anak-anak di bawah 2 tahun ketika anak-anak paling banyak resiko meningitis. [4]

III.ETIOLOGI 
1.Berikut adalah virus dan bakteria yang berpotensi menyebabkan labirinitis:
Virus Bakteria
• Cytomegalovirus
• Mumps virus
• Rubella virus
• Parainfluenza virus
• Influenza virus
• Adenovirus
• Varicella-zooster virus
• Herpes simplex virus 1 • S.pneumonia
• N.meningitidis
• Mycobacteria tuberculosis
• Bacteroides species
• Proteus species
• Moraxella catarrhalis
• Streptococus species
• Staphylococus species

 2.Zat - zat toksik seperti dan obatan-obatan.


IV.KLASIFIKASI
Labirinitis dapat disebabkan oleh virus, bacterial,zat-zat toksik dan obat-obatan. Labirinitis yang di sebabkan oleh bakterial terdapat dalam dua bentuk labirinitis, yaitu labirinitis serosa dan labirinitis supuratif. Labirinitis serosa dapat berbentuk labirinitis serosa difus dan labirinitis serosa sirkumskripta. Labirinitis supuratif dibagi dalam labirinitis supuratif akut difus dan labirinitis supuratif kronik difus.[3]

IV.a.LABIRINITIS VIRAL

Etiologi: 
Infeksi saluran pernafasan atas, faktor kongenital yaitu infeksi campak dan rubella pada trimester pertama atau infeksi cytomegalovirus pada kontraksi uterus setelah persalinan yang menyebabkan kokleolabirinitis. Infeksi virus ini menjalar secara hematogen ke telinga dalam.

Gejala klinis:
Menyebabkan gejala vertigo,mual, muntah selama beberapa hari dan minggu. Labirinitis viral bersifat tidak episodik dan tidak ada gejala gangguan pendengaran

Terapi:

Vestibular suppresent ( diazepam)

Komplikasi:
Komplikasi seperti hidrops endolimfatik dan penyakit Meniere’s.

Prognosis:
Prognosis baik karena biasanya terjadi pada usia muda dan jira terapi yang diberikan adekuat.Vertigo boleh sembuh dalam jangka masa satu minggu tetapi gangguan keseimbangan akan tetap bertahan selepas beberapa bulan jika terdapat stress.

IV.b.LABIRINITIS BAKTERIAL
IV.b.i.LABIRINITIS SEROSA DIFUS


Etiologi
Labirinitis serosa difus seringkali terjadi sekunder dari labirinitis sirkumskripta atau dapat terjadi primer pada otitis media akut dengan atau tanpa kolesteatoma dan reaktivasi otomastoiditis kronis.Masuknya toksin bakteria dan zat-zat yang diproduksi secara difus melalui membran fenestra ovale dan fenestra rotundum.Infeksi tersebut mencapai endosteum melalui saluran darah. Selain itu, labirinitis serosa sering terjadi pada operasi telinga dalam misalnya pada stapedektomi. Labirinitis serosa difus ini adalah satu proses inflamasi yang steril.[4]

Pemeriksaan
Kelainan patologi yaitu inflamasi non purulen pada labirin. Pemeriksaan histologik pada potongan labirin menunjukkan infiltrasi seluler awal dengan eksudat serosa atau serofibrin.[6]

Gejala klinis
Gejala dan tanda serangan akut labirinitis serosa difus adalah vertigo spontan dengan derajat ringan- sedang dan nistagmus rotatoar, biasanya ke arah telinga yang sakit. Terdapat juga tuli sensorineural yang bersifat sementara.Kadang-kadang disertai mual dan muntah, biasanya tidak berat.[3]

Terapi
Pengobatan pada stadium akut yaitu pasien harus tirah baring total.Harus diberikan antibiotika yang tepat dengan dosis yang adekuat untuk mengeradikasi bakteria penyebab.Selain itu utuk mengurangi gejala gangguan keseimbangan diberikan sedatif ringan.Pada stadium lanjut dari otitis media akut diperlukan dreanase telinga tengah dan mastoidektomi sederhana.[7]


Prognosis
Prognosis labirinitis serosa baik, dalam arti menyangkut kehidupan dan kembalinya fungsi labirin secara lengkap. Tetapi tuli saraf temporer yang berat dapat menjadi tuli saraf yang permanen bila tidak diobati dengan baik.

IV.b.ii.LABIRINITIS SUPURATIF AKUT DIFUS


Etiologi
Labirinitis supuratif akut difus dapat merupakan kelanjutan dari labirinitis serosa yang infeksinya masuk melalui fenestra ovale dan fenestra rotundum Pada banyak kejadian, labirinitis ini terjadi sekunder dari otitis media akut maupun kronik atau mastoiditis.Pada beberapa kasus abses subdural atau meningitis, infeksi dapat menyebar ke dalam labirin dengan atau tanpa terkenanya telinga tengah, sehingga menjadi labirin supuratif.Bakteria secara langsung masuk ke dalam membran dan erosi tulang labirin.[4]

Pemeriksaan 
Pada pemeriksaan histologik didapatkan infiltrsi labirin oleh sel-sel leukosit polimorfonuklear dan destruksi struktur jaringan lunak.Sebagian dari tulang labirin nekrosis, dan terbentuk jaringan granulasi yang dapat menutup bagian tulang yang nekrotik tersebut.Keadaan ini akan menyebabkan osifikasi labirin.[6]


Gejala klinis
Labirinitis supuratif akut difus , ditandai dengan tuli total pada telinga yang sakit diikuti dengan vertigo yang berat, mual, muntah, dan nistagmus spontan ke arah telinga yang sehat. Selama fase akut, posisi pasien sangat khas.Pasien akan berbaring pada sisi yang sakit, jadi ke arah komponen lambat nistagmus.Posisi ini akan mengurangi perasaan vertigo.Jika fungsi koklea hancur, akan mengakibatkan tuli saraf total permanen. [3]

Terapi
 Diperlukan tirah baring total selama fase akut, yang dapat berlangsung sampai 6 minggu.Perbaikan terjadi bertahap, mulai dari hari pertama.
 Sedatif ringan diperlukan pada periode awal.Fenobarbita 32 mg(1/2 gram) yang diberikan 3 kali sehari.
 Dosis antibiotika yang adekuat harus diberikan selama suatu periode baik untuk mencegah komplikasi intrakranial, maupun untuk mengobati labirinitisnya.Harus dilakukan kultur untuk identifikasi kuman dan untuk tes sensitivitas kuman.Antibiotika penisilin harus segera diberikan sebelum hasil tes resistensi didapat, jika alergi terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin, dengan dosis tinggi secara parenteral.Respons klinik lebih utama dari tes sensivitas kuman dalam menentukan jenis antibiotika.
 Drenase, atau membuang sebagian labirin yang rusak, dilakukan bila terdapat komplikasi intrakranial dan tidak memberi respon terhadap pengobatan dengan antibiotika. [7]

Otitis media akut + labirinitis serosa :
• Antibiotik intravena
• Miringotomi
Otitis media supuratif kronis +kolesteatoma
• Pembedahan mastoid dan telinga tengah
Otitis media supuratif kronis dari otitis
• Mastoidektomi atau labirinektomi darurat untuk menghentikan komplikasi ke intrakranial
Labirirnitis sekunder+ meningitis primer
• Manajamen meningitis primer

Prognosis
Prognosis baik pada labirinitis supuratif akut difus tanpa komplikasi.


IV.b.iii.LABIRINITIS KRONIK (LATEN) DIFUS


Etiologi
Labirinitis supuratif stadium kronik atau laten dimulai, segera sesudah gejala vestibuler akut berkurang.Hal ini mulai dari 2-6 minggu sesudah awal periode akut. [4]

Pemeriksaan
Pemeriksaan patologi menunjukkan telinga dalam hampir seluruhnya terisi oleh jaringan granulasi setelah 10 minggu serangan akut.Jaringan granulasi secara bertahap berubah menjadi jaringan ikat dengan permulaan kalsifikasi.Pembentukan tulang baru dapat mengisi penuh ruangan-ruangan labirin dalam 6 bulan sampai beberapa tahun.Tes kalori tidak menimbulkan respons di sisi yang sakit [6]

Gejala klinis

Terjadi tuli total di sisi yang sakit.Vertigo ringan nistagmus spontan biasanya ke arah telinga yang sehat dapat menetap sampai beberapa bulan .

Terapi
Terapi lokal ditujukan ke setiap infeksi yang mungkin ada.Drenase labirin dilakukan apabila terdapat suatu fokus infeksi di labirin atau daerah perilabirin telah menjalar atau dicurigai menyebar ke struktur intrakranial dan tidak memberi respons terhadap terapi antibiotika. [6]

IV.c.Labirinitis toksik
Labirinitis toksik dapat disebabkan oleh keracunan zat-zat toksik seperti arsen, zink, kuinin dan pemakaian obat antibiotik yang ototoksik seperti streptomicin, aminoglikosida, dan dihydrostreptomicin.Gejala yang timbul seperti vertigo, tinitus dan tuli.

V.NISTAGMUS [8]
 Nistagmus adalah gerak bola mata kian kemari yang terdiri dari dua fase . yaitu fase lambat dan fase cepat.Fase lambat merupakan reaksi sistem vestibuler terhadap rangsangan, sedangkan fase cepat merupakan kompensasinya.
 Nistagmus merupakan parameter yang akurat untuk menentukan aktivitas sistem vestibuler.Nistagmus dan vertigo adalah gejala yang berasal dari satu sumber, meskipun nistagmus dan vertigo tidak selalu timbul bersamaan. Dalam keadaan terlatih baik, vertigo bisa tidak dirasakan, meskipun nistagmus ada.
 Nistagmus juga diberi nama sesuai dengan arah komponen cepatnya, sehingga ada yang dinamakan nistagmus horizontal, nistagmus vertikal dan nistagmus rotatoar.Nistagmus merupakan parameter yang penting dalam tes kalori.Ia dapat menentukan normal tidaknya sistem vestibuler, dan dapat juga menduga adanya kelainan vestibuler sentral.Nistagmus yang juga penting sebagai pegangan dalam menentukan diagnosis adalah dengan tes nistagmus posisi.

Klasifikasi nistagmus :
1. Nistagmus spontan, yaitu nistagmus yang timbul dengan sendirinya, tanpa ada rangsangan dari luar.
2. Nistagmus bangkitan ( induced nystagmus), yaitu nistagmus yang timbul sessudah ada rangsangan dari luar , misalnya irigasi telinga, faradisasi, galvanisasi, putaran kursi, putaran alat optokinetik.
3. Nistagmus lirikan (gazed nystagmus), yaitu nistagmus yang timbul akibat gerakan lirikan mata.Nistagmus lirikan arahnya (fase cepat) selalu sesuai dengan arah lirikan.Nistagmus lirikan dapat bersumber dari kelainan sistem vestibuler sentral atau fisiologis ( end-point nystagmus)
4. Nistagmus kongenital, yaitu nistagmus yang ada sejak lahir, dengan ciri sebagai berikut : kongenital, tidak ada keluhan vertigo atau oscillopsia ( melihat obyek seperti bergerak), nistagmus hilang bila mata ditutup atau konvergensi.Pada saat posisi mata netral/ di tengah terjadi nistagmus pedular, dan akan berubah jadi jerky ketika mata melirik ke lateral.Nistagmus pendular tidak dapat dibedakan fase cepat dan lambatnya.Nistagmus jerky tampak jelas adanya fase cepat atau lambatnya.
5. Meniere’s nystagmus, yaitu nistagmus yang diderita oleh pekerja tambang batu bara sebagai akibat pekerjaanya yang sering melirik ke atas.
6. Sesaw nystagmus, yaitu gerakan bola mata kanan berbeda dengan mata kiri, ritmis dan involunter.Ketika mata kanan bergerak ke atas maka mata kiri bergerak ke bawah mirip timbangan atau ala ayun jomplangan.
7. Nistagmus ke atas (upbeating nystagmus) dapat timbul pada penderita pada saat melirik ke atas atau ke bawah, tetapi jarang terlihat pada posisi mata netral.Kelainan ini disebabkan oleh intoksikasi obat-obatan, defisiensi vitamin B1 atau proses-proses di daerah fossa posterior.
8. Nistagmus ke bawah (downbeating nystagmus) , timbul bilamana penderita melirik ke kiri atau ke kanan.Ini bermakna tanda penting dari kelainan didaerah medulla oblongata atai medullo-servikal.

VI.DIAGNOSIS [9]
1.Anamnesis.
2.Pemeriksaan klinis (Pemeriksaan keseimbnagan)

a. Uji Romberg  : Penderita berdiri dengan kedua kaki dirapatkan, mula-mula dengan kedua mata terbuka kemudian tertutup. Biarkan pada posisi demikian selama 20-30 detik. Harus dipastikan bahwa penderita tidak dapat menentukan posisinya (misalnya dengan bantuan titik cahaya atau suara tertentu). Pada kelainan vestibuler hanya pada mata tertutup badan penderita akan bergoyang menjauhi garis tengah kemudian kembali lagi, pada mata terbuka badan penderita tetap tegak. Sedangkan pada kelainan serebeler badan penderita akan bergoyang baik pada mata terbuka maupun pada mata tertutup.
b. Tandem Gait : Penderita berjalan lurus dengan tumit kaki kiri/kanan diletakkan pada ujung jari kaki kanan/kiri ganti berganti.Pada kelainan vestibuler perjalanannya akan menyimpang, dan pada kelainan serebeler penderita akan cenderung jatuh.

c. Uji Unterberger.
Berdiri dengan kedua lengan lurus horisontal ke depan dan jalan di tempat dengan mengangkat lutut setinggi mungkin selama satu menit. Pada kelainan vestibuler posisi penderita akan menyimpang atau berputar ke arah lesi dengan gerakan seperti orang melempar cakram; kepala dan badan berputar ke arah lesi, kedua lengan bergerak ke arah lesi dengan lengan pada sisi lesi turun dan yang lainnya naik. Keadaan ini disertai nistagmus dengan fase lambat ke arah lesi.

 d. Past-pointing test (Uji Tunjuk Barany)
Dengan jari telunjuk ekstensi dan lengan lurus ke depan, penderita disuruh mengangkat lengannya ke atas, kemudian diturunkan sampai menyentuh telunjuk tangan pemeriksa. Hal ini dilakukan berulang-ulang dengan mata terbuka dan tertutup.Pada kelainan vestibuler akan terlihat penyimpangan lengan penderita ke arah lesi.

e. Uji Babinsky-Weil 
Pasien dengan mata tertutup berulang kali berjalan lima langkah ke depan dan lima langkah ke belakang seama setengah menit; jika ada gangguan vestibuler unilateral, pasien akan berjalan dengan arah berbentuk bintang.

Pemeriksaan Khusus Oto-Neurologis

Pemeriksaan ini terutama untuk menentukan apakah letak lesinya di sentral atau perifer.
a. Tes Kalori
Penderita berbaring dengan kepala fleksi 30º, sehingga kanalis semisirkularis lateralis dalam posisi vertikal. Kedua telinga diirigasi bergantian dengan air dingin (30ºC) dan air hangat (44ºC) masing-masing selama 40 detik dan jarak setiap irigasi 5 menit. Nistagmus yang timbul dihitung lamanya sejak permulaan irigasi sampai hilangnya nistagmus tersebut (normal 90-150 detik).Dengan tes ini dapat ditentukan adanya canal paresis atau directional preponderance ke kiri atau ke kanan.Canal paresis ialah jika abnormalitas ditemukan di satu telinga, baik setelah rangsang air hangat maupun air dingin, sedangkan directional preponderance ialah jika abnormalitas ditemukan pada arah nistagmus yang sama di masing-masing telinga.Canal paresis menunjukkan lesi perifer di labirin atau nervus vestibulokoklearis, sedangkan directional preponderance menunjukkan lesi sentral.

b. Uji Dix Hallpike
 Dari posisi duduk di atas tempat tidur, penderita dibaring-kan ke belakang dengan cepat, sehingga kepalanya meng-gantung 45º di bawah garis horisontal, kemudian kepalanya dimiringkan 45º ke kanan lalu ke kiri. Perhatikan saat timbul dan hilangnya vertigo dan nistagmus, dengan uji ini dapat dibedakan apakah lesinya perifer atau sentral.
 Perifer (benign positional vertigo): vertigo dan nistagmus timbul setelah periode laten 2-10 detik, hilang dalam waktu kurang dari 1 menit, akan berkurang atau menghilang bila tes diulang-ulang beberapa kali (fatigue).
 Sentral: tidak ada periode laten, nistagmus dan vertigo ber-langsung lebih dari 1 menit, bila diulang-ulang reaksi tetap seperti semula (non-fatigue).



c. Elektronistagmogram
Pemeriksaan ini hanya dilakukan di rumah sakit, dengan tujuan untuk merekam gerakan mata pada nistagmus, dengan demikian nistagmus tersebut dapat dianalisis secara kuantitatif.

3.Laboratorium 

• Pemeriksaan cairan serebrospinal untuk menegakkan kasus meningitis.
• Melakukan kultur dan tes sensitivitas pada cairan telinga tengah untuk menetukan terapi antibiotik yang tepat .

4.Pemeriksaan CT scan 

• CT scan lumbalis untuk kasus meningitis.
• CT scan juga berguna untuk membantu menyingkirkan mastoiditis sebagai penyebab potensial.
• CT scan os temporal dapat membantu dalam manajemen pasien dengan cholesteatoma dan labyrinthitis.
• CT scan noncontrast untuk memvisualisasikan fibrosis dan kalsifikasi pada pasien yang menderita labirinitis kronis.



DAFTAR PUSTAKA
1. Adams GL, Boies LR, Higler PA. Boies: Buku Ajar Penyakit THT. Edisi 6. ECG: Jakarta; 1997. hal: 219-224
2. Efianty A.S,Nurbaiti I,Jenny B,Ratna D.R: Buku Ajar Ilmu Kesehatan THT,Edisi 6:FKUI;2007.hal118-137
3. Gulya AJ. Infections of the labyrinth. In: Bailey BJ, Johnson JT, Pillsbury HC, Tardy ME, Kohut RI, eds. Head and Neck Surgery-Otolaryngology. Vol 2. Philadelphia, Pa: JB Lippincott; 1993 available at https://profreg.medscape.com
 (Accessed Augustus 16, 2010.)
4. Woolley AL, Kirk KA, Neumann AM Jr, McWilliams SM, Murray J, Freind D. Risk factors for hearing loss from meningitis in children: the Children's Hospital experience. Arch Otolaryngol Head Neck Surg. May 1999.
5. Labyrinthitis: A Medical Dictionary, Bibliography, and Annotated Research Guide to Internet References. San Diego, CA: Icon Group International, 2004.
6. Schraff SA, Schleiss MR, Brown DK, Meinzen-Derr J, Choi KY, Greinwald JH, et al. Macrophage inflammatory proteins in cytomegalovirus-related inner ear injury. Otolaryngol Head Neck Surg. Oct 2007.
7. Kuhweide R, Van de Steene V, Vlaminck S, Casselman JW. Ramsay Hunt syndrome: pathophysiology of cochleovestibular symptoms. J Laryngol Otol. Oct 2002.
8. H.Aboe Amar Joesoef.Neuro-Otologi klinis Vertigo.Surabaya Airlangga University Press; 2002.hal:xxiv-xxvi.
9. Jang CH, Park SY, Wang PC. A case of tympanogenic labyrinthitis complicated by acute otitis media. Yonsei Med J. Feb 28 2005 available at http://emedicine.medscape.com(Accessed Augustus 16, 2010.)